Kamis, 14 Juni 2012

Ekonomi Aceh Mau Kemana?

Oleh Nazamuddin
PEMIMPIN Aceh boleh silih berganti, tapi ekonomi Aceh sudah sampai di mana? Kemanakah ekonomi Aceh akan menuju. Apa rancangan strategis yang sudah dipikirkan, sehingga pembangunan ekonomi Aceh tidak terperangkap dalam pandangan myopik, perencanaan sepotong-sepotong dan pada akhirnya tidak sampai ke mana-mana.

Rekonstruksi ekonomi Aceh pascabencana tsunami 2004 telah berhasil meletakkan landasan penting untuk kelangsungan pembangunan ekonomi jangka panjang. Ini dimungkinkan dengan mengalirnya dana dalam jumlah yang substansial ke dalam perekonomian Aceh, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan maupun bantuan yang sifatnya lebih strategis seperti program-program pemberdayaan ekonomi melalui fasilitas pembiayaan pembangunan ekonomi (EDFF) oleh Multi Donor Fund (MDF) dan lembaga-lembaga donor lain. Pemerintah Aceh sendiri melalui dana otonomi khusus telah membangunan infrastruktur yang semakin baik.

Perbaikan infrastruktur pascarekonstruksi terjadi di banyak tempat, bangunan-bangunan perkantoran modern dan bisnis tampak di banyak sudut kota. Konsumsi masyarakat meningkat. Seperti yang dilaporkan laporan analisa Bappeda dan Bank Dunia, tampak ada kecenderungan meningkat dalam persentase pengeluaran konsumsi dalam PDRB Aceh. Bahkan pada 2010 pengeluaran konsumsi mencapai 60%, sehingga pengeluaran konsumsi menjadi motor penggerak ekonomi melalui naiknya permintaan agregat. Sekaligus ini indikasi meningkatnya taraf kehidupan masyarakat secara rata-rata.

Pascarekonstruksi, tidak saja pencaharian penduduk Aceh bangkit kembali, melainkan juga kemarakan kehidupan ekonomi tampak di mana-mana, terlebih di wilayah perkotaan. Suasana damai memberi kontribusi besar dalam hal ini. Kini pertanyaan berikutnya muncul, apakah momentum ini dapat dipertahankan dan apakah pertumbuhan dapat dipacu lebih besar lagi? Triliunan rupiah telah dicurahkan ke dalam perekonomian Aceh baik oleh pemerintah Indonesia sendiri maupun oleh negara-negara donor sejak 2005 hingga sekarang. Dampak penting dari capital inflow tersebut adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran.

Pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Aceh mencapai puncaknya pada 2006-2007, kemudian turun pada 2008 tapi menanjak kembali setelah itu. Beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi telah melampau 5% per tahun. Sekarang pertanyaannya adalah bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi. Pendapatan per kapita juga masih relatif rendah. Pendapatan per kapita yang diukur dengan PDRB nonmigas per penduduk masih berada pada kisaran Rp 6,4 juta pada 2010. Kendati angka ini meningkat dari tahun ke tahun, tapi pertumbuhannya lamban. Ini berkaitan langsung dengan produktivitas masyarakat.

Karena itu pengurangan angka kemiskinan belum dapat diraih secara signifikan. Masih diperlukan upaya besar dan tepat sasaran dalam pertumbuhan ekonomi sehingga produktivitas riil masyarakat benar-benar meningkat dan taraf hidup membaik. Memang Aceh selama beberapa tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif. Namun sektor-sektor ini adalah sektor derivatif. Sektor riil sendiri, khususnya pertanian, hanya tumbuh 5 persen, suatu angka pertumbuhan yang belum cukup untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara lebih drastis.

Persentase penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Aceh hingga akhir 2011 masih sekitar 19 persen. Kendati angka kemiskinan terus menurun dari tahun ke tahun, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan angka kemiskinan rata-rata Indonesia sekitar 17 persen. Namun, Indeks Kedalaman Kemiskinan memperlihatkan bahwa ketimpangan pengeluaran antarpenduduk miskin sendiri semakin menyempit. Angka kemiskinan telah turun dari 28,28% pada tahun 2006 menjadi hanya 19,5% pada akhir 2011.

Namun demikian, persentase penduduk miskin Aceh masih relatif tinggi dibandingkan dengan Sumatera Utara 11,31 % atau Indonesia 13,33%. Angka pengangguran telah turun menjadi hanya sekitar 7% pada 2011. Tapi penting diingat bahwa tingkat pengangguran tertinggi di Aceh terdiri dari penduduk yang menyelesaikan pendidikan menengah atas (SLTA). Hal ini dapat terjadi karena kebanyakan dari mereka adalah lulusan sekolah menengah yang tidak memiliki keterampilan untuk memasuki dunia kerja.

Secara umum, perekonomian Aceh masih didominasi sektor primer, termasuk yang akhir-akhir berkembang pesat, yaitu pertambangan. Sayangnya sektor pertambangan sangat kontroversial karena selain tidak menciptakan banyak tenaga kerja dan kurang keterkaitan input-output dengan kegiatan ekonomi rakyat, kegiatan pertambangan juga sering merusak lingkungan. Maka, sektor pertanian dalam arti luas yang termasuk perkebunan dan perikanan merupakan potensi yang dapat dikembangkan hingga skala ekonomi yang besar.

Beberapa komoditas penting di sektor pertanian dan perkebunan belum berkembang baik, di antaranya yang sangat potensial adalah beras, kedelai, kopi dan kakao. Produksi setiap tahun lebih besar daripada konsumsi dan mempunyai potensi ekspor yang prospektif. Hanya saja produksi komoditas ini masih dalam skala kecil dan belum kontinyu. Pengelolaannya juga masih tradisional dan agroindustri sebagai kegiatan di hilir belum berkembang baik. Bebeapa initiatif telah dilakukan oleh beberapa lembaga donor bidang ekonomi, termasuk MDF pemberdayaan ekonomi di sektor pertanian dalam upaya meningkatkan nilai tambah pertanian, termasuk untuk komoditaas kakao dan kopi.

Beberapa upaya termasuk merapikan mata rantai (supply chain) dari hulu ke hilir telah dilakukan. Namun, masih diperlukan upaya berkelanjutan untuk mengangkat beberapa komoditas unggulan tersebut sehingga menjadi sektor penghela (leading sector) bagi perekonomian rakyat Aceh di luar Migas. Di sektor perikanan, pengembangan industri pengolahan perikanan sangat menjanjikan. Dengan posisi geografis Aceh di Selat Melaka yang menguntungkan, Aceh dapat menjadi pusat pengolahan perikanan untuk ekspor ke kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.

Begitu banyak potensi alam Aceh di luar minyak dan gas bumi. Tapi karena Aceh selama ini termanjakan oleh sumber pendapatan pemerintah dari minyak dan gas bumi, maka belanja pemerintah menjadi pendorong penting bagi pertumbuhan ekonomi. Maka, potensi besar tersebut tidak direncanakan dengan rencana strategis yang konsisten. Di luar komoditas tanaman pangan, perkebunan dan perikanan, sumber pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata juga belum dikembangkan secara optimal. Demikian pula sumber-sumber energi non-migas seperti pembangkit listrik tenaga geothermal belum sepenuhnya dieksploitasi.

 Bertumpu pada kaki sendiri
Setelah untuk sekian lama Aceh bertumpu pada dana rekonstruksi dan bantuan donor asing, sekarang saatnya pemerintah bertumpu pada kaki sendiri. Kendati dalam batas tertentu bantuan dari luar masih tetap diperlukan, namun kejayaan ekonomi Aceh sangat ditentukan oleh strategi pembangunan ekonomi oleh pemerintah Aceh sendiri. Strategi utama adalah menjadikan pertanian dan perikanan menjadi sektor penghela pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan agroindustri. Modernisasi pertanian dengan skala besar dan komersial perlu dilakukan sehingga ekonomi Aceh beralih dari sekedar commodity-based economy menjadi pertanian yang terintegrasi dengan industri. Dengan demikian perekonomian Aceh menjadi lebih berimbang antarsektor.

Sumber daya alam mesti dikombinasikan dengan sumber daya manusia yang handal. Oleh karena itu, ekonomi Aceh dalam jangka panjang juga harus ditopang oleh kualitas manusia Aceh yang berilmu pengetahuan dan trampil secara ekonomi. Perubahan orientasi pendidikan dilakukan secara bertahap dan link and match pembangunan pendidikan dengan pembangunan ekonomi. Daya saing ekonomi akan bergantung pada daya saing sumber daya manusia. Oleh karena itu, investasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan (human capital) juga harus lebih fokus.

Ketergantungan pertumbuhan ekonomi pada belanja pemerintah dikurangi dan investasi swasta ditumbuhkan lebih cepat. Upaya-upaya mendorong pertumbuhan investasi sektor swasta mencakup perbaikan di bidang regulasi dan efisiensi pelayanan birokrasi, keamanan, dan keterbukaan masyarakat. Melakukan perubahan memang seringkali, tapi kemajuan itu sendiri adalah perubahan. Kita tunggu saja apa perubahan yang akan dilakukan dan langkah strategis apa yang akan ditempuh. Mudah-mudahan tidak terjebak lagi dalam yang biasa-biasa saja.

* Nazamuddin, Dosen dan Pengamat Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.

Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/06/13/ekonomi-aceh-mau-kemana

Sabtu, 02 Juni 2012

Perkembangan Perekonomian Aceh



Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat perekonomian Aceh tumbuh di atas 5% selama 2011, karena adanya pertumbuhan positif pada semua sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada sektor minyak dan gas alam (migas) yaitu mencapai 5,89 persen, sedangkan dari sector non migas ekonomi Aceh hanya tumbuh 5,02 persen. Jika ditinjau lebih jauh, seharusnya fakta ini menjadi kabar baik bagi semua lapisan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi ini menandakan bahwa setidaknya Aceh sudah mampu bangkit dari keterpurukan konflik dan bencana alam tsunami, biar bagaimanapun faktor ekonomi merupakan salah satu alasan penting berkembang dan majunya suatu daerah. Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi ini bukan menjadi standar makmur suatu daerah atau negara. Negara atau daerah yang makmur, sudah tentu perekonomiannya mengalami pertumbuhan, tapi tidak sebaliknya.
Hal tersebut tidak terjadi pada tahun ini. Angka pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh pada triwulan I (Januari-Maret) tahun 2012 dilaporkan mengalami penurunan cukup tajam dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh dengan minyak dan gas (migas) pada triwulan I-2012 hanya mencapai 0,83 persen dan tanpa memperhitungkan migas tumbuh sebesar 1,02 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan tahunan, yaitu dengan migas 5,11 persen dan tanpa migas 5,95 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan IV-2011 mencapai 1,64 persen dan tanpa migas 1,49 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan tahunan dengan migas 4,40 persen dan tanpa migas 5,19 persen.
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan I-2012 disumbang oleh pertumbuhan positif pada lima sektor, dimana tiga sektor dengan pertumbuhan tertinggi adalah keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 6,10 persen, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi 3,39 persen dan sektor pertanian 2,57 persen. Dari lima sektor, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh cukup tinggi, karena ditopang oleh gairah sub sektor perbankan yang meningkat hingga 9,74 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor pertanian akibat pengaruh musim panen yang terjadi hampir di seluruh wilayah Aceh pada triwulan I-2012, sehingga juga mempengaruhi sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor yang tumbuh negatif adalah pertambangan dan penggalian sebesar minus 1,49 persen dan sektor industri pengolahan minus 0,30 persen. Sektor ini turun akibat menurunnya produksi migas dan rendahnya permintaan material galian karena belum optimalnya sektor pembangunan. Sementara nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh dengan migas meningkat menjadi Rp22,87 triliun pada triwulan I-2012 dan tanpa migas meningkat menjadi Rp19,19 triliun. Struktur perekonomian Aceh pada triwulan I-2012 masih menunjukkan besarnya kontribusi migas (subsektor pertambangan migas dan industri pengolahan migas) yang mencapai 16,09 persen. Struktur PDRB Aceh baik dengan migas maupun tanpa migas menunjukkan bahwa dua sektor yang merupakan leading sektor bagi perekonomian Aceh hingga pada triwulan I-2012 masih berada pada sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor lain yang juga menopang laju perekonomian Aceh adalah bangunan, listrik dan air bersih, industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa.
Fakta tersebut sebenarnya menjadi kabar baik bagi perekonomian Aceh, meski sempat bergerak positif dan kemudian turun lagi menjadi pergerakan yang negative, namun hal ini setidaknya menjadi bukti bahwa saat ini Aceh mampu mengembangkan geliat perekonomian, mengingat dulunya Aceh pernah mengalami keterpurukan saat konflik dan bencana tsunami.
Namun, fakta ini menjadi tidak relevan dalam kenyataan di lapangan, mengingat penduduk miskin yang ada di Aceh bukan semakin berkurang seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin positif, namun sebaliknya penduduk miskin malah bertambah presentasenya.
Kurangnya pembukaan lapangan kerja oleh pemerintah dianggap menjadi salah satu factor penyebab tingginya tingkat pengangguran di Aceh yang kemudian berdampak pada tingginya angka tingkat kemiskinan. Penduduk Aceh yang hampir 80% bergantung pada sector pertanian, juga belum mampu memenuhi standar hidup dan nafkah keluarga. Hal ini juga menjadi salah satu permasalahan, karena dianggap pemerintah tidak terlalu memberdayakan petani, baik melalui sosialisasi atau berupa bantuan, mengingat sumber daya manusia juga masih sangat rentan di beberapa wilayah di Aceh.
permasalahan pembangunan ekonomi Aceh saat ini adalah ketidakfokusan pemerintah dalam membangun perekonomian. Pemerintah Aceh harus memiliki fokus dengan mengedepankan skala prioritas dalam pembangunan ekonomi Aceh. Atau dengan kata lain pemerintah Aceh harus mempunyai (memimjam istilah yang digunakan oleh Dr Nazamuddin dalam diskusi sebuah diskusi) ‘leading sector’ dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi di Aceh. Secara teoritis, keberadaan ‘leading sector’ dalam suatu perekonomian memang diperlukan. Keberadaan ’leading sector’ dibutuhkan untuk menjadi penggerak utama dalam pertumbuhan suatu wilayah. Keberadaan ‘leading sector’ ini nantinya juga akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian daerah sehingga sektor lain juga ikut bangkit dan mendapatkan manfaat. Selain itu, dengan fokusnya pengembangan perekonomian pada satu sektor atau pada satu sub sektor saja yaitu pada ‘leading sector’ juga akan memudahkan pemerintah setempat dalam menjalankan, mengontrol, mengawasi dan mengevalausi kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sektor tersebut.
Semoga, pemerintah mampu mensinergikan perekonomian Aceh menjadi lebih baik kedepannya. Apalagi dalam waktu dekat Aceh akan berada dibawah naungan pemerintahan baru. Semua pihak berharap, adanya inovasi pembangunan perekonomian yang nantinya mampu membawa perekonomian aceh kearah yang lebih baik, tidak hanya bagi kalangan tertentu, tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat.