Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh
mencatat perekonomian Aceh tumbuh di atas 5% selama 2011, karena adanya
pertumbuhan positif pada semua sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi
terjadi pada sektor minyak dan gas alam (migas) yaitu mencapai 5,89 persen,
sedangkan dari sector non migas ekonomi Aceh hanya tumbuh 5,02 persen. Jika
ditinjau lebih jauh, seharusnya fakta ini menjadi kabar baik bagi semua lapisan
masyarakat. Pertumbuhan ekonomi ini menandakan bahwa setidaknya Aceh sudah
mampu bangkit dari keterpurukan konflik dan bencana alam tsunami, biar
bagaimanapun faktor ekonomi merupakan salah satu alasan penting berkembang dan
majunya suatu daerah. Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi ini bukan menjadi
standar makmur suatu daerah atau negara. Negara atau daerah yang makmur, sudah
tentu perekonomiannya mengalami pertumbuhan, tapi tidak sebaliknya.
Hal tersebut tidak terjadi pada tahun
ini. Angka pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh pada triwulan I (Januari-Maret)
tahun 2012 dilaporkan mengalami penurunan cukup tajam dibandingkan dengan
pertumbuhan triwulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat
pertumbuhan ekonomi Aceh dengan minyak dan gas (migas) pada triwulan I-2012
hanya mencapai 0,83 persen dan tanpa memperhitungkan migas tumbuh sebesar 1,02
persen. Begitu juga dengan pertumbuhan tahunan, yaitu dengan migas 5,11 persen
dan tanpa migas 5,95 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas
pada triwulan IV-2011 mencapai 1,64 persen dan tanpa migas 1,49 persen. Begitu
juga dengan pertumbuhan tahunan dengan migas 4,40 persen dan tanpa migas 5,19
persen.
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada
triwulan I-2012 disumbang oleh pertumbuhan positif pada lima sektor, dimana
tiga sektor dengan pertumbuhan tertinggi adalah keuangan, persewaan dan jasa
perusahaan 6,10 persen, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi 3,39 persen
dan sektor pertanian 2,57 persen. Dari lima sektor, sektor keuangan, persewaan
dan jasa perusahaan tumbuh cukup tinggi, karena ditopang oleh gairah sub sektor
perbankan yang meningkat hingga 9,74 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor
pertanian akibat pengaruh musim panen yang terjadi hampir di seluruh wilayah
Aceh pada triwulan I-2012, sehingga juga mempengaruhi sektor perdagangan, hotel
dan restoran. Sektor yang tumbuh negatif adalah pertambangan dan penggalian
sebesar minus 1,49 persen dan sektor industri pengolahan minus 0,30 persen.
Sektor ini turun akibat menurunnya produksi migas dan rendahnya permintaan
material galian karena belum optimalnya sektor pembangunan. Sementara nilai
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh dengan migas meningkat menjadi
Rp22,87 triliun pada triwulan I-2012 dan tanpa migas meningkat menjadi Rp19,19
triliun. Struktur perekonomian Aceh pada triwulan I-2012 masih menunjukkan
besarnya kontribusi migas (subsektor pertambangan migas dan industri pengolahan
migas) yang mencapai 16,09 persen. Struktur PDRB Aceh baik dengan migas maupun
tanpa migas menunjukkan bahwa dua sektor yang merupakan leading sektor bagi
perekonomian Aceh hingga pada triwulan I-2012 masih berada pada sektor
pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor lain yang juga
menopang laju perekonomian Aceh adalah bangunan, listrik dan air bersih,
industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa.
Fakta tersebut sebenarnya menjadi
kabar baik bagi perekonomian Aceh, meski sempat bergerak positif dan kemudian
turun lagi menjadi pergerakan yang negative, namun hal ini setidaknya menjadi
bukti bahwa saat ini Aceh mampu mengembangkan geliat perekonomian, mengingat
dulunya Aceh pernah mengalami keterpurukan saat konflik dan bencana tsunami.
Namun, fakta ini menjadi tidak
relevan dalam kenyataan di lapangan, mengingat penduduk miskin yang ada di Aceh
bukan semakin berkurang seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin positif, namun
sebaliknya penduduk miskin malah bertambah presentasenya.
Kurangnya pembukaan lapangan kerja
oleh pemerintah dianggap menjadi salah satu factor penyebab tingginya tingkat
pengangguran di Aceh yang kemudian berdampak pada tingginya angka tingkat
kemiskinan. Penduduk Aceh yang hampir 80% bergantung pada sector pertanian, juga
belum mampu memenuhi standar hidup dan nafkah keluarga. Hal ini juga menjadi
salah satu permasalahan, karena dianggap pemerintah tidak terlalu memberdayakan
petani, baik melalui sosialisasi atau berupa bantuan, mengingat sumber daya
manusia juga masih sangat rentan di beberapa wilayah di Aceh.
permasalahan
pembangunan ekonomi Aceh saat ini adalah ketidakfokusan pemerintah dalam
membangun perekonomian. Pemerintah Aceh harus memiliki fokus dengan
mengedepankan skala prioritas dalam pembangunan ekonomi Aceh. Atau dengan kata
lain pemerintah Aceh harus mempunyai (memimjam istilah yang digunakan oleh Dr
Nazamuddin dalam diskusi sebuah diskusi) ‘leading sector’ dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi di Aceh. Secara teoritis, keberadaan ‘leading sector’ dalam
suatu perekonomian memang diperlukan. Keberadaan ’leading sector’ dibutuhkan
untuk menjadi penggerak utama dalam pertumbuhan suatu wilayah. Keberadaan
‘leading sector’ ini nantinya juga akan menimbulkan efek ganda (multiplier
effect) dalam perekonomian daerah sehingga sektor lain juga ikut bangkit dan
mendapatkan manfaat. Selain itu, dengan fokusnya pengembangan perekonomian pada
satu sektor atau pada satu sub sektor saja yaitu pada ‘leading sector’ juga
akan memudahkan pemerintah setempat dalam menjalankan, mengontrol, mengawasi
dan mengevalausi kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sektor tersebut.
Semoga, pemerintah mampu
mensinergikan perekonomian Aceh menjadi lebih baik kedepannya. Apalagi dalam
waktu dekat Aceh akan berada dibawah naungan pemerintahan baru. Semua pihak
berharap, adanya inovasi pembangunan perekonomian yang nantinya mampu membawa
perekonomian aceh kearah yang lebih baik, tidak hanya bagi kalangan tertentu,
tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar