Sabtu, 02 Juni 2012

Perkembangan Perekonomian Aceh



Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat perekonomian Aceh tumbuh di atas 5% selama 2011, karena adanya pertumbuhan positif pada semua sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada sektor minyak dan gas alam (migas) yaitu mencapai 5,89 persen, sedangkan dari sector non migas ekonomi Aceh hanya tumbuh 5,02 persen. Jika ditinjau lebih jauh, seharusnya fakta ini menjadi kabar baik bagi semua lapisan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi ini menandakan bahwa setidaknya Aceh sudah mampu bangkit dari keterpurukan konflik dan bencana alam tsunami, biar bagaimanapun faktor ekonomi merupakan salah satu alasan penting berkembang dan majunya suatu daerah. Namun sayangnya, pertumbuhan ekonomi ini bukan menjadi standar makmur suatu daerah atau negara. Negara atau daerah yang makmur, sudah tentu perekonomiannya mengalami pertumbuhan, tapi tidak sebaliknya.
Hal tersebut tidak terjadi pada tahun ini. Angka pertumbuhan ekonomi di Provinsi Aceh pada triwulan I (Januari-Maret) tahun 2012 dilaporkan mengalami penurunan cukup tajam dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan sebelumnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Aceh dengan minyak dan gas (migas) pada triwulan I-2012 hanya mencapai 0,83 persen dan tanpa memperhitungkan migas tumbuh sebesar 1,02 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan tahunan, yaitu dengan migas 5,11 persen dan tanpa migas 5,95 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Aceh dengan migas pada triwulan IV-2011 mencapai 1,64 persen dan tanpa migas 1,49 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan tahunan dengan migas 4,40 persen dan tanpa migas 5,19 persen.
Pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan I-2012 disumbang oleh pertumbuhan positif pada lima sektor, dimana tiga sektor dengan pertumbuhan tertinggi adalah keuangan, persewaan dan jasa perusahaan 6,10 persen, diikuti sektor pengangkutan dan komunikasi 3,39 persen dan sektor pertanian 2,57 persen. Dari lima sektor, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh cukup tinggi, karena ditopang oleh gairah sub sektor perbankan yang meningkat hingga 9,74 persen. Sedangkan pertumbuhan sektor pertanian akibat pengaruh musim panen yang terjadi hampir di seluruh wilayah Aceh pada triwulan I-2012, sehingga juga mempengaruhi sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor yang tumbuh negatif adalah pertambangan dan penggalian sebesar minus 1,49 persen dan sektor industri pengolahan minus 0,30 persen. Sektor ini turun akibat menurunnya produksi migas dan rendahnya permintaan material galian karena belum optimalnya sektor pembangunan. Sementara nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh dengan migas meningkat menjadi Rp22,87 triliun pada triwulan I-2012 dan tanpa migas meningkat menjadi Rp19,19 triliun. Struktur perekonomian Aceh pada triwulan I-2012 masih menunjukkan besarnya kontribusi migas (subsektor pertambangan migas dan industri pengolahan migas) yang mencapai 16,09 persen. Struktur PDRB Aceh baik dengan migas maupun tanpa migas menunjukkan bahwa dua sektor yang merupakan leading sektor bagi perekonomian Aceh hingga pada triwulan I-2012 masih berada pada sektor pertanian dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor lain yang juga menopang laju perekonomian Aceh adalah bangunan, listrik dan air bersih, industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa.
Fakta tersebut sebenarnya menjadi kabar baik bagi perekonomian Aceh, meski sempat bergerak positif dan kemudian turun lagi menjadi pergerakan yang negative, namun hal ini setidaknya menjadi bukti bahwa saat ini Aceh mampu mengembangkan geliat perekonomian, mengingat dulunya Aceh pernah mengalami keterpurukan saat konflik dan bencana tsunami.
Namun, fakta ini menjadi tidak relevan dalam kenyataan di lapangan, mengingat penduduk miskin yang ada di Aceh bukan semakin berkurang seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin positif, namun sebaliknya penduduk miskin malah bertambah presentasenya.
Kurangnya pembukaan lapangan kerja oleh pemerintah dianggap menjadi salah satu factor penyebab tingginya tingkat pengangguran di Aceh yang kemudian berdampak pada tingginya angka tingkat kemiskinan. Penduduk Aceh yang hampir 80% bergantung pada sector pertanian, juga belum mampu memenuhi standar hidup dan nafkah keluarga. Hal ini juga menjadi salah satu permasalahan, karena dianggap pemerintah tidak terlalu memberdayakan petani, baik melalui sosialisasi atau berupa bantuan, mengingat sumber daya manusia juga masih sangat rentan di beberapa wilayah di Aceh.
permasalahan pembangunan ekonomi Aceh saat ini adalah ketidakfokusan pemerintah dalam membangun perekonomian. Pemerintah Aceh harus memiliki fokus dengan mengedepankan skala prioritas dalam pembangunan ekonomi Aceh. Atau dengan kata lain pemerintah Aceh harus mempunyai (memimjam istilah yang digunakan oleh Dr Nazamuddin dalam diskusi sebuah diskusi) ‘leading sector’ dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi di Aceh. Secara teoritis, keberadaan ‘leading sector’ dalam suatu perekonomian memang diperlukan. Keberadaan ’leading sector’ dibutuhkan untuk menjadi penggerak utama dalam pertumbuhan suatu wilayah. Keberadaan ‘leading sector’ ini nantinya juga akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian daerah sehingga sektor lain juga ikut bangkit dan mendapatkan manfaat. Selain itu, dengan fokusnya pengembangan perekonomian pada satu sektor atau pada satu sub sektor saja yaitu pada ‘leading sector’ juga akan memudahkan pemerintah setempat dalam menjalankan, mengontrol, mengawasi dan mengevalausi kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sektor tersebut.
Semoga, pemerintah mampu mensinergikan perekonomian Aceh menjadi lebih baik kedepannya. Apalagi dalam waktu dekat Aceh akan berada dibawah naungan pemerintahan baru. Semua pihak berharap, adanya inovasi pembangunan perekonomian yang nantinya mampu membawa perekonomian aceh kearah yang lebih baik, tidak hanya bagi kalangan tertentu, tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar