Sabtu, 22 Februari 2014

Jeget Ayu, Serpihan Pulau Jawa yang terdampar di Aceh



Jagong Jeget merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Aceh Tengah, Propinsi Aceh, jagong Jeget merupakan kecamatan paling ujung Kabupaten Aceh Tengah yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Jagong Jeget berada di ketinggian 1500 mdpl, sehingga membuat daerah ini sangat dingin. Suhu terendah dapat mencapai 14 derjat celcius.
                Jeget Ayu merupakan ibukota kecamatan Jagong Jeget, desa ini merupakan desa terluas, dengan luas secara keseluruhan yaitu 24 km2, masing-masing 13,25 km2 luas kampung dan 10,75 km2 luas perkebunan. Terdiri dari 5 dusun, yaitu Dusun Tambak Sari, Wih Empan, Suka Maju, Suka Makmur, dan Gedum Malik.
Wilayah Jeget Ayu secara umum memiliki ciri geologis berupa dataran tinggi,  lahan perkebunan, ladang yang sangat cocok untuk tanaman jenis palawija dan buah-buahan, dan juga tambak-tambak ikan air tawar yang dibangun di depan rumah warga,sebagian besar masyarakat Jeget Ayu adalah petani kopi yang kesehariannya menghabiskan waktu di kebun, para pedagang yang mendiami pasar yang umumnya merupakan pendatang, dan hanya sebagian kecil yang bekerja di instansi pemerintah.
Kampung Jeget Ayu memiliki fasilitas dan sarana publik lengkap, ini dikarenakan kampung ini berada di pusat kecamatan, fasilitas yang dimiliki antara lain sekolah antara lain PAUD, TK, RA, MIN, SD, MTsN, SMP, SMA dan SMK. Fasilitas lain seperti Kantor Kecamatan, Balai penyuluhan pertanian, Puskesmas kecamatan, Danramil, PLN, Bang BRI dan Bank Aceh, Balai Desa, Polindes, mesjid dan musalla di setiap dusunnya.
Sejarah Awal
                Kecamatan Jagong Jeget pada mulanya adalah Desa Transmigran. Pada tahun 1982, warga dari pulau Jawa didatangkan ke Desa Jagong (saat itu masih bergabung bersama Isaq). Masyarakat yang di sebut Transmigran bertransmigrasi dan dikirimkan resmi oleh Pemerintahan Indonesia pada saat itu. Oleh sebab itu lah higga saat ini, penduduk Jagong 80 persen diantaranya merupakan penduduk suku Jawa.
                Menurut cerita warga tetua. Pada awal dikirim menjadi transmigran ke Jagong, mereka hanya bermodalkan uang pas – pasan. Tidak membawa apa – apa. Setibanya di Jagong yang saat itu masih berupa hutan yang sangat lebat, mereka hanya diberikan sepetak tanah dan rumah sebagai modal awal. Saat itu, makanan dan kebutuhan lainnya masih dijatahi oleh Perusahaan yang menjadi devloper desa. Masyarakat Transmigrasi benar – benar memulai usahanya dalam hal pembangunan desa mulai dari ).
                Awalnya, Jagong adalah salah satu desa di bawah kecamatan Isaq. Kemudian Desa tersebut terbagi menjadi 4 Dusun, salah satunya Dusun Jeget Ayu. Kemuadian seiring dengan perkebangan masyarakat desa, akhirnya Jagong terpisah dari Isaq dan membentuk Kecamatan sendiri.
                Pada masa sebelum konflik Aceh berkecamuk. Kecamatan Jagong Jeget merupakan salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Aceh. Pada masa itu kopi yang dihasilkan tidak hanya dipasarkan di wilayah Indonesia saja, tetapi sampai ke manca negara. Pada saat itu pula, transaksi perdagangan biji kopi mencapai Rp 250 Juta – Rp 500 Juta per harinya. Namun, karena konflik, ruang gerak masyarakat desa menjadi lebih sempit, petani yang merupakan suku Jawa banyak yang pulang kampung, perkebunan kopi tidak dipedulikan lagi, akhirnya geliat perdagangan kopi menjadi memudar.
                Meski sudah berpuluh tahun tinggal di tanah Aceh. Masyarakat Transmigrasi tidak meninggalkan nilai – nilai budaya dan kearifan lokal kampung halaman mereka. Masyarakat masih tetap melestarikan budaya Jawa meski mereka tidak lagi berada di kampung halaman mereka. Bahkan yang menarik adalah, masyarakat masih menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari – hari. Sampai – sampai kami yang KKN di sana seperti sedang berada di desa – desa umumnya di pulau Jawa.
                Hal ini lah yang kemudian menjadi menarik bagi saya, tinggal dan menetap di daerah yang sebelumnya – bahkan namanya saja belum pernah saya dengar. Hal yang paling membekas adalah pada saat mengetahui jika 80 persen masyarakatnya adalah penduduk Jawa. Meski berada di dataran tinggi Gayo, masyarakat Desa tidak sedikitpun menggunakan bahasa Gayo dalam komunikasi sehari hari. Kecuali jika memang masyarakat adalah pendatang dari Gayo.
                Tidak hanya dari segi bahasa, tata cara, budaya, dan kearifan lokalpun benar – benar mencirikan masyarakat suku Jawa pada umumnya. Jika di Aceh ceramah Maulid disampaikan dengan menggunakan Bahasa Aceh – Indonesia, di Jagong, Ceramah disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa – Indonesia. Selain itu, mulai dari acara pernikahan, shalawatan, pengajian, rebana, penyelenggaraan Maulid semuanya dilaksanakan dengan ciri khas Jawa.
                Menarik, saat mengetahui ternyata  didataran tinggi Gayo, ada sebuah Desa (yang mungkin) adalah serpihan Pulau Jawa yang terdampar, di Aceh.
                Demikianlah sedikit cerita mengenai sejarah desa Jeget Ayu yang merupakan cikal bakal Kecamatan Jagong Jeget J

(Artikel ini juga dipublish di blog http://kkn-unsyiah-jegetayuacehtengah.blogspot.com )

Kamis, 20 Februari 2014

Saat Kemarau dan Banjir datang di saat yang Bersamaan


          Dalam sepekan terakhir, media memuat informasi mengenai kekeringan yang melanda beberapa daerah di Aceh. Bahkan begitu parahnya kekeringan yang melanda, sehingga di beberapa daerah di Aceh debit air berkurang, lahan persawahan pun kering kerontang nyaris gagal panen, dan perkebunan terbakar. Udara terasa kering dan panas. Di beberapa daerah lainnya bahkan masyarakat harus mencari air hingga ke kaki pegunungan dengan susah payah meski air yang di dapatkan bahkah keruh dan tidak jernih.

          Sebenarnya apa yang sedang terjadi di Aceh, apakah ini (bentuk lain) atas teguran dari Allah swt kepada masyarakat Aceh?

          Lain di Aceh, lain pula di Pulau Jawa. Saat daerah Aceh sedang dilanda kekeringan dan panas luar biasa. Di daerah Jawa malah lain cerita. Daerah Jawa malah dilanda hujan lebat tidak henti – hentinya hingga debet air disungai meningkat drastis dan menyebabkan banjir disebagian besar daerah pulau Jawa. Mengapa hal ini bisa terjadi? Aceh sebenarnya sedang berada di permulaan dari musim kemarau. Beberapa daerah di Aceh sudah merasakan kekeringan selama beberapa minggu, dan ada yang sudah merasakannya sejak bulan Desember, terutama mereka yang berada di wilayah pantai barat dan selatan Aceh.

          Siklus ini, terjadi karena adanya gerakan matahari sepanjang tahun dari Garis Balik Utara (di 23,5 derajat Utara, tanggal 21 Juni) ke Garis Balik Selatan (di 23,5 derajat Selatan, tanggal 23 September) dan sebaliknya. Gerakan ini menghasilkan muslim hujan dan musim kemarau yang bergilir di belahan bumi selatan dan utara. Dari bulan Oktober hingga Maret, matahari berada di belahan bumi selatan sehingga belahan bumi selatan mendapat lebih banyak hujan dan belahan bumi utara mengalami musim kering. Sementara itu, dari bulan April hingga September, matahari berada di belahan bumi utara sehingga belahan bumi utara mendapat banyak hujan dan belahan bumi selatan mendapat musim kering. (wikipedia.org)

Secara teori Aceh mendapat curah hujan pada bulan Oktober-November dan April-Mei yaitu saat matahari melintas di atas wilayah Aceh. Kekeringan yang melanda Aceh di bulan Januari dan Februari ini, karena Aceh berada di belahan bumi utara. Penguapan yang terjadi di Aceh selama Januari dan Februari lebih banyak dibawa ke selatan oleh angin, untuk membentuk awan-awan hujan di atas wilayah Jawa dan Sumatera Selatan. Oleh sebab itulah pada saat kita mengalami kemarau dan kekeringan, saudara kita di Pulau Jawa justru kebanjiran.

Siklus tersebut seyogyanya memang rutin terjadi setiap tahunnya. Tetapi mengapa kemarau tahun ini sangat terasa terjadi begitu lamanya? Mengapa kekeringan terjadi hingga sumber air bebenar – benar kering?

Hal inilah yang kemudian sebenarnya menjadi masalah. Tanah di sebagian daerah Aceh sudah tidak memiliki kemampuan untuk menahan air. Air yang turun sebagai hujan di musim penghujan, langsung teraliri sungai dan dibawa langsung ke laut, tidak banyak air yang ditampung oleh tanah. Berkurangnya kemampuan tanah dalam menampung debit air disebabkan oleh tidak tersedianya lagi tumbuhan dan pepohonan yang mampu menyerap air untuk disimpan didalam tanah. Laju deforestasi hutan yang sangat tinggi, dan pola pertanian yang tidak lagi mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan, telah menyebabkan sebagian besar air hujan hanya terbuang ke laut.

Ternyata, kasus serupa tidak hanya menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor, ternyata kemarau berkepanjangan juga disebabkan oleh kurangnya kesadaran kita akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan.

Selanjutnya pilihan ada ditangan kita. Masihkah kita mau kemarau dan banjir datang di saat yang bersamaan?















H.u.j.a.n

Hujan seperti anak panah yang lepas. Menerbangkan asa orang orang yang luput dari kemarau Seperti cipratan ketidakmampuan harus bersedih atau besuka cita Hujan selalu punya cerita Ada malam yang menggauli pagi. Ada siang yang kedinginan di balik matahari Awan kemudian memberat Merintik dalam rongga dada Menerjemah dalam basah Suara suara langit masih saja bercengkrama