Dalam sepekan terakhir, media memuat
informasi mengenai kekeringan yang melanda beberapa daerah di Aceh. Bahkan begitu
parahnya kekeringan yang melanda, sehingga di beberapa daerah di Aceh debit air
berkurang, lahan persawahan pun kering kerontang nyaris gagal panen, dan
perkebunan terbakar. Udara terasa kering dan panas. Di beberapa daerah lainnya
bahkan masyarakat harus mencari air hingga ke kaki pegunungan dengan susah
payah meski air yang di dapatkan bahkah keruh dan tidak jernih.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi di
Aceh, apakah ini (bentuk lain) atas teguran dari Allah swt kepada masyarakat
Aceh?
Lain di Aceh, lain pula di Pulau Jawa.
Saat daerah Aceh sedang dilanda kekeringan dan panas luar biasa. Di daerah Jawa
malah lain cerita. Daerah Jawa malah dilanda hujan lebat tidak henti – hentinya
hingga debet air disungai meningkat drastis dan menyebabkan banjir disebagian
besar daerah pulau Jawa. Mengapa hal ini bisa terjadi? Aceh sebenarnya sedang
berada di permulaan dari musim kemarau. Beberapa daerah di Aceh sudah merasakan
kekeringan selama beberapa minggu, dan ada yang sudah merasakannya sejak bulan
Desember, terutama mereka yang berada di wilayah pantai barat dan selatan Aceh.
Siklus ini, terjadi karena adanya
gerakan matahari sepanjang tahun dari Garis Balik Utara (di 23,5 derajat Utara,
tanggal 21 Juni) ke Garis Balik Selatan (di 23,5 derajat Selatan, tanggal 23
September) dan sebaliknya. Gerakan ini menghasilkan muslim hujan dan musim
kemarau yang bergilir di belahan bumi selatan dan utara. Dari bulan Oktober
hingga Maret, matahari berada di belahan bumi selatan sehingga belahan bumi
selatan mendapat lebih banyak hujan dan belahan bumi utara mengalami musim
kering. Sementara itu, dari bulan April hingga September, matahari berada di
belahan bumi utara sehingga belahan bumi utara mendapat banyak hujan dan
belahan bumi selatan mendapat musim kering. (wikipedia.org)
Secara teori Aceh mendapat curah hujan
pada bulan Oktober-November dan April-Mei yaitu saat matahari melintas di atas
wilayah Aceh. Kekeringan yang melanda Aceh di bulan Januari dan Februari ini, karena
Aceh berada di belahan bumi utara. Penguapan yang terjadi di Aceh selama
Januari dan Februari lebih banyak dibawa ke selatan oleh angin, untuk membentuk
awan-awan hujan di atas wilayah Jawa dan Sumatera Selatan. Oleh sebab itulah
pada saat kita mengalami kemarau dan kekeringan, saudara kita di Pulau Jawa
justru kebanjiran.
Siklus tersebut seyogyanya memang
rutin terjadi setiap tahunnya. Tetapi mengapa kemarau tahun ini sangat terasa
terjadi begitu lamanya? Mengapa kekeringan terjadi hingga sumber air bebenar –
benar kering?
Hal inilah yang kemudian sebenarnya
menjadi masalah. Tanah di sebagian daerah Aceh sudah tidak memiliki kemampuan
untuk menahan air. Air yang turun sebagai hujan di musim penghujan, langsung
teraliri sungai dan dibawa langsung ke laut, tidak banyak air yang ditampung
oleh tanah. Berkurangnya kemampuan tanah dalam menampung debit air disebabkan
oleh tidak tersedianya lagi tumbuhan dan pepohonan yang mampu menyerap air
untuk disimpan didalam tanah. Laju deforestasi hutan yang sangat tinggi, dan pola
pertanian yang tidak lagi mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan, telah
menyebabkan sebagian besar air hujan hanya terbuang ke laut.
Ternyata, kasus serupa tidak hanya
menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor, ternyata kemarau berkepanjangan
juga disebabkan oleh kurangnya kesadaran kita akan pentingnya menjaga dan
melestarikan lingkungan.
Selanjutnya pilihan ada ditangan kita.
Masihkah kita mau kemarau dan banjir datang di saat yang bersamaan?
Musibah dan teguran di tanah air ini, Aceh juga tidak luput dengan kepulan kabut asap dan kemarau panjang.
BalasHapusSemoga kita dapat mengambil hikmah dari setiap musibah. Semoga kita lebih banyak bersyukur. Semoga kita dapat belajar untuk dapat lebih menghargai alam :)
BalasHapus