Rabu, 16 Oktober 2013

Belajar Melestarikan Hutan dari Kearifan Lokal Kampung Orang, Pakpak Bharat

Pakpak Bharat merupakan sebuah daerah yang mayoritas penduduk aslinya adalah masyrakat suku Pakpak. masyarakat suku Pakpak ini adalah satu dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia yang masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya serta adat istiadatnya. Hal ini menunjukkan bahwa, karakteristik budaya peninggalan leluhur masih tetap dipertahankan di dalam masyrakatnya meskipun hidup di tengah-tengah belenggu modernisasi.
Selain kaya akan budaya, masyarakat Pakpak Bharat juga kaya akan potensi sumber daya alamnya. Ini menjadi suatu nilai tambah guna membangun suatu kondisi social masyarakat yang lebih baik. Bila kita lihat dari sudut pandang sosio-kultural, relasi antara kondisi alam serta komponen budaya, maka sangat terlihat jelas hubungan antar keduanya.
Salah satu potensi yang dimiliki daerah tersebut terletak pada potensi sumber daya alam yaitu hutan. Hutan yang terletak di Pakpak Bharat terbentang luas di daerah tersebut dengan banyaknya tanaman-tanaman seperti pohon kemenyan, pohon pete, pohon durian, pohon kecing untuk papan dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan masyarakat setempat selalu menjaga dan melestarikan kekayaan alam tersebut yang bertujuan untuk menambah daya tarik daerah tersebut.
Dalam menjaga kelestarian tersebut penduduk setempat mempercayai akan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka seperti upacara-upacara adat, kepercayaan akan hal-hal mistis, kepercayaan akan hal yang harus dan tidak boleh dilakukan terhadap hutan tersebut.
Perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan umumnya melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengolahan hutan yang dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan tradisional dapat berfungsi sebagai perlindungan hutan, seperti contoh pantang (tabu) untuk menebang pohon tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu masyarakat di daerah itu sendiri. Begitu juga halnya dengan masyarakat Pakpak Bharat, yang mana kearifan tradisional masyarakat Pakpak dalam mengelola hutan, khususnya hutan kemenyan yang memiliki nilai historis, ekonomis serta sosial budaya tersendiri bagi masyarakat Pakpak.
Pantang Larang Hutan adalah sebuah hal berupa larangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat menyangkut pemanfaatan hutan. Pantang larang ini merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang ke generasi - generasi selanjutnya yang bertujuan untuk menghindari hal - hal yang dianggap akan berdampak tidak baik bagi kehidupan masyarakat setempat, yang masih memiliki kepercayaan dalam hal tersebut.
Alm. G.Lingga dalam wawancara Salmon Lingga (1983:15) memaparkan:
“Ada pengisi alam yang unik, dimana sebagian orang menganggap kekuatannya melebihi kekuatan manusia, dimana ia harus disembah dan diambil hatinya. Selain itu kejadian-kejadian alam seperti banjir, gempa, penyakit, dan sebagainya yang sangat membahayakan adalah perbuatan “oknum” tertentu yang mempunyai kekuatan (Magis). Sioknum tersebut menurut pemeluk kepercayaan sipelebegu mau datang kerumah dan mempunyai tubuh serta dapat berpindah-pindah. Ia juga berbentuk roh - jiwa tetapi tidak kelihatan dan mempunyai sahala”
            Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa hal – hal gaib dan mistik yang berkembang secara turun temurun menjadi hal yang mendasari adanya pantang larang yang berlaku dimasyarakat yang masih berlaku hingga saat ini. Pantangan larangan tersebut dalam aplikasinya di kehidupan social kultural masyarakat ini dilakukan sesuai dengan tatanan kehidupan social bagaimana seharusnya manusia memperlakukan lingkungan ekologisnya sesuai dengan nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat. sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dimasyarakat tersebut.
            Dalam hal pengendalian dan kontrol sosial budaya, pantangan dan larangan tersebut diatur di dalam sebuah  upacara tahunan yang disebut Mananda Tahunan. Upacara ini adalah sebuah upacara ritual yang diselenggarakan oleh masyarakat Pakpak di Sisada Rube kecamatan Pergentteng Gentteng Sengkut (PGGS) Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Upacara ini dilaksanakan setiap bulan Februari antara tanggal 1 sampai 10, menurut kepercayaan dan adat istiadat setempat, setelah tanggal tersebut upacara tidak dapat dilaksanakan lagi. Upacara ini diselenggarakan ketika menjelang musim bercocok tanam. Tujuan pelaksanaannya tidak hanya ditujukan kepada aspek bercocok tanam saja, namun upacara ini juga bertujuan untuk mengatur dan meramalkan segala aspek kehidupan untuk kesejahtera masyarakat setempat.
Selain didasarkan pada nilai – nilai warisan leluhur, sebenarnya masyarakat setempat juga mengetahui dampak terhadap eksploitasi hutan secara berlebihan menurut logika dan ilmu pengetahuan. Larangan dan pantangan yang berlaku menjadi kontrol tidak hanya dianggap sekedar warisan dari leluhur, tetapi juga menjadi control dalam hal penjagaan hutan dari segi ilmu pengetahuan. Misalnya, masyarakat mempunyai kesadaran menjaga hutan karena hutan merupakan sumber air dan air merupakan sumber kehidupan. Selain itu, masyarakat juga mengerti bahwa membakar hutan tanpa pengawasan yang benar akan berdampak pada polusi yang nantinya juga akan dirasakan oleh masyarakat. Hal tersebut berdampak sangat relevan terhadap kehidupan social masyarakat setempat. Pantang larang tersebut benar – benar dipatuhi dan dijalani oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pantangan dan larangan yang telah diatur sesuai dengan adat istiadat yang berlaku sebenarnya dilakukan bukan untuk membatasi kegiatan agraris masyarakat setempat. Tetapi pantang larang ini dilakukan dengan tujuan menghormati leluhur yang telah mewarisi alam secara turun – temurun.
            Dampak positif secara nyata dirasakan oleh masyarakat yang mematuhi pantang larang tersebut, contohnya lahan yang telah dibuka dan difungsikan secara produktif akan menghasilkan hasil alam yang melimpah. Dan hasil alam tersebut dapat menunjang perekonomian masyarakat.
            Kemudian, dampak positif lainnya adalah alam sekitar pembukaan lahan tetap terjaga kelestariannya. Sehingga tidak terjadi eksploitasi lahan hutan secara berlebihan. Oleh karena itu, pantang larang terhadap hutan yang berlaku dimasyarakat Pakpak Bharat khususnya masyarakat Kucupak sangat berdampak bagi keberlangsungan kelestarian hutan di daerah tersebut.
            Salah satu ketentuan yang diatur dalam upacara tersebut adalah tata cara membukaan lahan (menoto = meminta izin) pembukaan lahan. Dalam ritual di tetapkan bahwa kegiatan menoto tersebut dapat dilakukan pada bulan April. Kegiatan yang dilakukan adalah membersihkan lahan yang akan digunakan. Kemudian pada bulan Juni, kegiatan dilanjutkan dengan pembakaran lahan. Barulah kemudian lahan tersebut dapat digunakan dan lahan yang telah dibuka tersebut harus difungsikan secara produktif. Ritual tersebut dilakukan dengan tujuan memperoleh izin dan “keberkahan” dari Yang Maha Kuasa.
Secara umum, letak geografis kabupaten Pakpak Bharat memang terletak di wilayah pegunungan. Namun, untuk upacara menahun tidak dilaksanakan oleh semua kecamatan dikabupaten tersebut. Hanya di Sisada Rube yang merupakan wilayah konsentrasi pemukiman masyarakat kecupak dan Simapera yang menjadi satu – satunya lokasi pelaksanaan Upacara Menahun.
            Upacara menahun ini hanya boleh dilaksanakan oleh marga Manik yang memang secara historis menjadi marga pertama yang tiba di daerah tersebut. Nenek moyang marga Maniklah yang pertama kali melakukan ritual tersebut. Marga Manik dan keturunannya dianggap memiliki aura dan kekuatan magis khusus untuk melakukan ritual tersebut. Oleh sebab itulah hanya keturunan Marga Manik yang boleh menjadi pelaksana upacara manahun tersebut. Sedangkan warga dari marga lainnya hanya boleh menjadi peserta dan juga berkewajiban melaksanakan serta mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam upacara tersebut.
            Pada dasarnya, tidak seluruh masyarakat di kucupak dan sekitarnya mengerti dan paham akan tradisi upacara menahun. Namun, mereka tetap mengikuti upacara tersebut tanpa paksaan. Masyarakat mengikuti ritual lebih karena kesadaran akan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Selain itu, meskipun tidak mengikuti ritual, masyarakat tetap akan mematuhi peraturan yang telah di tetapkan dalam ritual. Masyarakat tetap akan melakukan kegiatan sehari – hari sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
            Secara umum, 80 persen masyarakat kucupak dan sekitarnya mempercayai dampak yang akan ditimbulkan oleh pelaksanaan ritual. Sehingga, sangat jarang terjadi pelanggaran dan sangat jarang ada masyarakat yang melanggar pantangan – pantangan yang telah ditetapkan.
            Jikapun ada yang melanggar, pemangku adat akan memberikan sanksi tegas sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, jika yang dilanggar hanya pelanggaran – pelanggaran kecil, si pelanggar hanya diberikan sanksi berupa teguran dari pemangku adat dan juga mendapatkan perlakuan pengucilan dari masyarakat. Namun, jika pelanggaran yang dilakukan merupakan pelanggaran berat dan berdampak besar bagi masyarakat sekitar, si pelanggar tersebut harus disidang dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Contoh hukuman yang paling umum adalah si pelanggar harus menjamu warga (melaksanakan acara makan bersama) dengan mengundang seluruh warga termasuk 6 kuta 1 rube yang juga mengikuti ritual upacara manahun.
Masyarakat Pakpak Bharat yang tinggal di Sisadu Rube Kecamatan Pakpak Bharat, Sumatera Utara merupakan salah satu masyarakat yang masih sangat menghargai dan masih benar – benar melaksanakan setiap kegiatan social masyarakat berdasarkan tatanan hukum adat yang berlaku.
Masyarakat masih percaya bahwa setiap kegiatan social masyarakat harus didahului dengan suatu kegiatan tertentu berupa ritual. Untuk masyarakat Pakpak di Sisada Rube sendiri, ritual yang dilaksanakan adalah Mananda tahun yang rutin dilaksanakan setahun sekali dalam rangka pembukaan lading, karena itu selalu dilaksanakan menjelang musim tanam dengan maksud agar tidak menyalahi apa yang dipercayai sebagai ketentuan – ketentuan dari leluhur dan hal – hal gaib bagi kelestarian ekosistem. Dengan demikian usaha perladangan akan memperoleh “keberkahan” dari Yang Maha Kuasa.
Aturan – aturan yang telah ditetapkan pada upacara menahun tersebut ternyata berdampak sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat. Dengan adanya pantang larang yang telah ditetapkan tersebut, menjadi control bagi masyarakat untuk tidak membuka lahan, membakar atau menebang hutan secara sembarangan. Masyarakat juga lebih berhati – hati dalam bertindak terhadap alam, dan masyarakat menjadi lebih mengerti hak dan tanggung jawabnya terhadap hutan.
Mungkin secara umum, masyarakat Aceh sendiri tidak mungkin menerapkan hal demikian dalam hal ritual pelestarian hutan. Namun ada kearifan lokal tersendiri yang juga dimiliki oleh masyarakat Aceh yang juga dapat digunakan sebagai kontrol sosial dalam pelestarian hutan. Kembali kepada nilai - nilai spiritual bahwa hutan, dan seluruh alam semesta adalah nikmat Allah swt yang ditipkan kepada kita, untuk dijaga, agar kelak anak cucu dan generasi setelah kita mampu merasakan nikmat yang sama seperti kita, demikian seterusnya.


Selasa, 08 Oktober 2013

Peusedoe Kebudayaan Aceh

oleh Herman RN
MUNGKIN orang Aceh patut bangga dan salut atas kabar segera terselenggaranya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI. Seperti mimpi PKA-PKA sebelumnya, tentu saja PKA VI diharapkan mampu memberikan kebanggan hasanah bahwa Aceh kaya budaya dan kesenian.
PKA sebagai helatan akbar atas nama kebudayaan Aceh tentu saja tak lepas dari kesenian tradisional yang ada di seluruh Aceh, dengan tidak menafikan kesenian modern dan kontemporer. Kebudayaan dan kesenian tradisional Aceh “wajib” hadir dalam ajang PKA sebagai suatu wujud pelestarian pada kesenian warisan turun temurun. Adapun kesenian modern dapat muncul dalam PKA sebagai sisipan untuk menunjukkan bahwa Aceh tidak ekslusif terhadap sesuatu yang modern. Namun, mesti dicermati, setiap kesenian tersebut mesti sudah sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Aceh?
Ajang PKA diharapkan mampu menjadi wahana pengenalan dan pelestarian kesenian tradisional Aceh, seni tari, seni tutur, hingga ke permainan tradisional. Semua itu harus muncul dalam Pekan Kebudayaan Aceh. Apalagi, kesenian yang keberedaannya nyaris hilang. Dalam PKA, hal itu harus dibangkitkan kembali.
Bicara kesenian tradisional Aceh, bearti seluruh kesenian yang hidup di tanoh Aceh, mulai pesisir, kepaulaun, hingga di pegunungan. PKA mestinya mengutamakan seni-seni dari daerah, yang jarang tampil ke permukaan. Harus diingat bahwa even ini bernama Pekan Kebudayaan Aceh, bukan Pekan Kebudayaan Khusus Etnis Aceh.
Hal sederhana ini penting dicermati, karena suasana Aceh akhir-akhir ini terlalu hot dengan isu etnis. Beberapa etnis di Aceh mulai merasa ‘dianaktirikan’ oleh Pemerintah Aceh. PKA jangan sampai malah memperkeruh susana dengan menafikan beberapa kesenian tradisinal daerah tertentu. Sudah semestinya, PKA menjadi ajang pemersatu beragam suku dan etnis di seluruh Aceh. Ibarat kata bijak dari Barat, Jika politik itu bengkok, maka seni yang meluruskannya.
Singkatnya, seluruh kabupaten/kota mesti terlibat dalam ajang PKA. Apabila ada satu atau dua daerah yang belum siap atau kesiapan mereka belum matang, baiknya PKA ditunda dahulu. Tak baik tergesa-gesa dalam menyelenggarakan even besar atas nama kebudayaan bersama. Sesuatu yang dipaksakan kejar tayang dikhawatirkan hasilnya asal tayang pula. Tak dapat dikatakan berhasil bilamana PKA tahun ini hanya ‘yang penting terlaksana’ tanpa indikator keberhasilan dan output yang diperoleh daerah. Jangan sampai seperti kata indatu, buet walanca-walancé, awai pubuet dudoe piké.
Adalah benar bahwa PKA ajang empat tahunan. Namun, jika persiapan belum matang, hendaknya PKA VI ini tidak dipaksakan hanya karena sudah tiba empat tahun dari tenggat PKA V. Bicara persiapan, bukan sekadar rencana di atas kertas atau Term of Reference (ToR) semata. Bicara persiapan bukan sekadar membual di media massa bahwa PKA VI akan ada ini, akan begini, akan dibuka oleh presiden, dan sebagainya. Bicara soal persiapan adalah sebuah kesiapan yang mestinya sudah tampak sejak sekarang, mulai dari provinsi sampai ke seluruh kabupaten/kota.
Nyatanya, PKA VI tinggal menghitung hari, umbul-umbul saja belum terpajang. Entah bagaimana pula soal rehab-rekon anjungan setiap kabupaten/ kota di Taman Ratu Safiatuddin. Pun beberapa lokasi yang disebutkan menjadi tempat perhelatan PKA VI, belum ada tanda-tanda di sana akan digelar even ini. Bahwa di Banda Aceh segera ada perhelatan akbar atas nama kebudayaan hanya ditandai beberapa spanduk di tepi jalan raya.
Lain lagi soal di daerah, beberapa kabupaten/kota bahkan terkesan masih bingung harus membawa apa ke PKA VI. Pada sebuah media online terbaca, ada bupati suatu daerah yang mengatakan mereka akan turut dalam PKA VI nanti alakadar saja, karena minim persiapan. Ada pula bupati daerah lain yang baru duduk bersama tokoh-tokoh masyarakatnya untuk membicarakan persiapan ke PKA VI.
Semua ini sebenarnya merupakan persoalan penting yang harus dipertimbangkan oleh panitia pelaksana. Ada apa di balik semua ini? Apakah sosialisasi PKA VI terlambat sampai ke kabupaten/kota? Atau ada alasan lain semisal kabupaten tertentu baru selesai pemilihan kepala daerah sehingga belum siap betul menuju PKA. Ada pula kabupaten yang baru saja terkena bencana alam. Semua ini sebenarnya menjadi alasan bahwa PKA VI belum siap untuk dilaksanakan tahun ini, apalagi harus September ini.
Alasan penundaan PKA VI jangan hanya karena penyesuaian dengan jadwal presiden. Hanya karena presiden hendak ke Aceh melantik Wali Nanggroe, PKA kemudian ‘mencuri momen’ tersebut. Cobalah utamakan persiapan 23 kabupaten/kota. Tak perlu malu menunda PKA VI demi hasil yang lebih gemilang. PKA-PKA sebelumnya juga tak sesuai target jadwalnya. Rentang PKA I ke PKA II sampai 14 tahun. PKA II ke PKA III mencapai 16 tahun. Setelah 16 tahun pula baru terlaksana PKA IV. PKA V baru terlaksana lima tahun kemudian. Dari lima PKA yang sudah, boleh dikatakan pelaksanaan PKA V tidak sesiap PKA sebelumnya. Tentu saja tak satu pun ureueng Aceh berkeinginan PKA VI nanti lebih buruk pula daripada PKA V.

Konten PKA
Selain kesiapan tempat, promosi, dan sejenisnya, harus dicermati pula konten (isi) PKA. Sebagai sebuah pekan kebudayaan, sekali lagi, mesti diutamakan kebudayaan atau kesenian tradisional, dengan tanpa menafikan kesenian modern yang berterima bagi masyarakat Aceh. Ada banyak kesenian tradisional daerah Aceh yang nyaris ‘punah’. Harusnya, yang seperti itulah dimunculkan kembali.
Katakanlah seni tutur atau sastra lisan. Perlu diingat, dalam hal kesenian, dunia mengenal Aceh di antaranya karena sastra lisan. Aceh kaya hasanah sastra lisan, sebut saja antara lain peuayôn aneuk, diké, dalaé, meurukôn/meudrah, nazam, hikayat, meunaséb, dan sejenisnya. Masing-masing daerah punya khas tersendiri dalam menyampaikan seni tuturnya, dengan nama tersendiri pula. Misal saja untuk meunaséb, bagi orang Gayo ada bersebuku, bagi suku Aneuk Jamee ada maratok. Demikian halnya hikayat, nyaris semua daerah di Aceh punya cara tersendiri dalam menyampaikan seni tutur jenis ini. Di Gayo dengan kekeberen, di Simeulue dengan nandong, di Singkil dengan bakaba, dan seterusnya.
Perlu diingat pula bahwa dalam kearifan Aceh saat intat lintô ada tradisi mubalah pantôn. Kebudayaan satu ini juga nyaris punah. Padahal, hampir semua daerah di Aceh dulunya memiliki tradisi ini. Dalam masyarakat minoritas Kluet pun ada seni peukateun ini, mereka menyebutnya meukato dan meubobo.
            Kesenian-kesenian seperti inilah yang mestinya diutamakan dalam pesta kebudayaan bergelar PKA. Adapun kesenian modern disisipi saja. Bukan malah sebaliknya, kesenian modern yang diutamakan, beberapa kesenian tradisi hanya sebagai sisipan belaka. Begitulah yang terlihat dari promosi PKA VI di media massa. Tak muncul sastra lisan yang tradisional Aceh di PKA VI, tetapi ada sayembara paduan suara. Saya tidak tahu, apakah paduan suara yang seperti nyanyian gereja itu disebut sebagai seni tradisional Aceh? Lalu, untuk menutupi kedok tersebut, pembacaan hikayat hanya diletakkan sebagai eksebisi semata?
Maaf, bukan bearti saya tidak setuju dengan seni paduan suara. Hanya saja, bicara PKA, sekali lagi, hendaknya diutamakan kesenian tradisi, yang sudah hidup dalam masyarakat Aceh secara turun temurun. Jika tidak, PKA sama saja dengan even-even kesenian yang diselenggarakan sanggar atau komunitas tingkat kampus, yang berkutat pada tari, band, teater konvensional, dan nyanyi-nyanyian. Jika begitu, bukankah PKA dapat diartikan sebagai Peusedoe Kebudayaan Aceh? Homhai…

Herman RN, cerpenis dan peminat seni tradisi.