Selasa, 08 Oktober 2013

Peusedoe Kebudayaan Aceh

oleh Herman RN
MUNGKIN orang Aceh patut bangga dan salut atas kabar segera terselenggaranya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI. Seperti mimpi PKA-PKA sebelumnya, tentu saja PKA VI diharapkan mampu memberikan kebanggan hasanah bahwa Aceh kaya budaya dan kesenian.
PKA sebagai helatan akbar atas nama kebudayaan Aceh tentu saja tak lepas dari kesenian tradisional yang ada di seluruh Aceh, dengan tidak menafikan kesenian modern dan kontemporer. Kebudayaan dan kesenian tradisional Aceh “wajib” hadir dalam ajang PKA sebagai suatu wujud pelestarian pada kesenian warisan turun temurun. Adapun kesenian modern dapat muncul dalam PKA sebagai sisipan untuk menunjukkan bahwa Aceh tidak ekslusif terhadap sesuatu yang modern. Namun, mesti dicermati, setiap kesenian tersebut mesti sudah sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Aceh?
Ajang PKA diharapkan mampu menjadi wahana pengenalan dan pelestarian kesenian tradisional Aceh, seni tari, seni tutur, hingga ke permainan tradisional. Semua itu harus muncul dalam Pekan Kebudayaan Aceh. Apalagi, kesenian yang keberedaannya nyaris hilang. Dalam PKA, hal itu harus dibangkitkan kembali.
Bicara kesenian tradisional Aceh, bearti seluruh kesenian yang hidup di tanoh Aceh, mulai pesisir, kepaulaun, hingga di pegunungan. PKA mestinya mengutamakan seni-seni dari daerah, yang jarang tampil ke permukaan. Harus diingat bahwa even ini bernama Pekan Kebudayaan Aceh, bukan Pekan Kebudayaan Khusus Etnis Aceh.
Hal sederhana ini penting dicermati, karena suasana Aceh akhir-akhir ini terlalu hot dengan isu etnis. Beberapa etnis di Aceh mulai merasa ‘dianaktirikan’ oleh Pemerintah Aceh. PKA jangan sampai malah memperkeruh susana dengan menafikan beberapa kesenian tradisinal daerah tertentu. Sudah semestinya, PKA menjadi ajang pemersatu beragam suku dan etnis di seluruh Aceh. Ibarat kata bijak dari Barat, Jika politik itu bengkok, maka seni yang meluruskannya.
Singkatnya, seluruh kabupaten/kota mesti terlibat dalam ajang PKA. Apabila ada satu atau dua daerah yang belum siap atau kesiapan mereka belum matang, baiknya PKA ditunda dahulu. Tak baik tergesa-gesa dalam menyelenggarakan even besar atas nama kebudayaan bersama. Sesuatu yang dipaksakan kejar tayang dikhawatirkan hasilnya asal tayang pula. Tak dapat dikatakan berhasil bilamana PKA tahun ini hanya ‘yang penting terlaksana’ tanpa indikator keberhasilan dan output yang diperoleh daerah. Jangan sampai seperti kata indatu, buet walanca-walancé, awai pubuet dudoe piké.
Adalah benar bahwa PKA ajang empat tahunan. Namun, jika persiapan belum matang, hendaknya PKA VI ini tidak dipaksakan hanya karena sudah tiba empat tahun dari tenggat PKA V. Bicara persiapan, bukan sekadar rencana di atas kertas atau Term of Reference (ToR) semata. Bicara persiapan bukan sekadar membual di media massa bahwa PKA VI akan ada ini, akan begini, akan dibuka oleh presiden, dan sebagainya. Bicara soal persiapan adalah sebuah kesiapan yang mestinya sudah tampak sejak sekarang, mulai dari provinsi sampai ke seluruh kabupaten/kota.
Nyatanya, PKA VI tinggal menghitung hari, umbul-umbul saja belum terpajang. Entah bagaimana pula soal rehab-rekon anjungan setiap kabupaten/ kota di Taman Ratu Safiatuddin. Pun beberapa lokasi yang disebutkan menjadi tempat perhelatan PKA VI, belum ada tanda-tanda di sana akan digelar even ini. Bahwa di Banda Aceh segera ada perhelatan akbar atas nama kebudayaan hanya ditandai beberapa spanduk di tepi jalan raya.
Lain lagi soal di daerah, beberapa kabupaten/kota bahkan terkesan masih bingung harus membawa apa ke PKA VI. Pada sebuah media online terbaca, ada bupati suatu daerah yang mengatakan mereka akan turut dalam PKA VI nanti alakadar saja, karena minim persiapan. Ada pula bupati daerah lain yang baru duduk bersama tokoh-tokoh masyarakatnya untuk membicarakan persiapan ke PKA VI.
Semua ini sebenarnya merupakan persoalan penting yang harus dipertimbangkan oleh panitia pelaksana. Ada apa di balik semua ini? Apakah sosialisasi PKA VI terlambat sampai ke kabupaten/kota? Atau ada alasan lain semisal kabupaten tertentu baru selesai pemilihan kepala daerah sehingga belum siap betul menuju PKA. Ada pula kabupaten yang baru saja terkena bencana alam. Semua ini sebenarnya menjadi alasan bahwa PKA VI belum siap untuk dilaksanakan tahun ini, apalagi harus September ini.
Alasan penundaan PKA VI jangan hanya karena penyesuaian dengan jadwal presiden. Hanya karena presiden hendak ke Aceh melantik Wali Nanggroe, PKA kemudian ‘mencuri momen’ tersebut. Cobalah utamakan persiapan 23 kabupaten/kota. Tak perlu malu menunda PKA VI demi hasil yang lebih gemilang. PKA-PKA sebelumnya juga tak sesuai target jadwalnya. Rentang PKA I ke PKA II sampai 14 tahun. PKA II ke PKA III mencapai 16 tahun. Setelah 16 tahun pula baru terlaksana PKA IV. PKA V baru terlaksana lima tahun kemudian. Dari lima PKA yang sudah, boleh dikatakan pelaksanaan PKA V tidak sesiap PKA sebelumnya. Tentu saja tak satu pun ureueng Aceh berkeinginan PKA VI nanti lebih buruk pula daripada PKA V.

Konten PKA
Selain kesiapan tempat, promosi, dan sejenisnya, harus dicermati pula konten (isi) PKA. Sebagai sebuah pekan kebudayaan, sekali lagi, mesti diutamakan kebudayaan atau kesenian tradisional, dengan tanpa menafikan kesenian modern yang berterima bagi masyarakat Aceh. Ada banyak kesenian tradisional daerah Aceh yang nyaris ‘punah’. Harusnya, yang seperti itulah dimunculkan kembali.
Katakanlah seni tutur atau sastra lisan. Perlu diingat, dalam hal kesenian, dunia mengenal Aceh di antaranya karena sastra lisan. Aceh kaya hasanah sastra lisan, sebut saja antara lain peuayôn aneuk, diké, dalaé, meurukôn/meudrah, nazam, hikayat, meunaséb, dan sejenisnya. Masing-masing daerah punya khas tersendiri dalam menyampaikan seni tuturnya, dengan nama tersendiri pula. Misal saja untuk meunaséb, bagi orang Gayo ada bersebuku, bagi suku Aneuk Jamee ada maratok. Demikian halnya hikayat, nyaris semua daerah di Aceh punya cara tersendiri dalam menyampaikan seni tutur jenis ini. Di Gayo dengan kekeberen, di Simeulue dengan nandong, di Singkil dengan bakaba, dan seterusnya.
Perlu diingat pula bahwa dalam kearifan Aceh saat intat lintô ada tradisi mubalah pantôn. Kebudayaan satu ini juga nyaris punah. Padahal, hampir semua daerah di Aceh dulunya memiliki tradisi ini. Dalam masyarakat minoritas Kluet pun ada seni peukateun ini, mereka menyebutnya meukato dan meubobo.
            Kesenian-kesenian seperti inilah yang mestinya diutamakan dalam pesta kebudayaan bergelar PKA. Adapun kesenian modern disisipi saja. Bukan malah sebaliknya, kesenian modern yang diutamakan, beberapa kesenian tradisi hanya sebagai sisipan belaka. Begitulah yang terlihat dari promosi PKA VI di media massa. Tak muncul sastra lisan yang tradisional Aceh di PKA VI, tetapi ada sayembara paduan suara. Saya tidak tahu, apakah paduan suara yang seperti nyanyian gereja itu disebut sebagai seni tradisional Aceh? Lalu, untuk menutupi kedok tersebut, pembacaan hikayat hanya diletakkan sebagai eksebisi semata?
Maaf, bukan bearti saya tidak setuju dengan seni paduan suara. Hanya saja, bicara PKA, sekali lagi, hendaknya diutamakan kesenian tradisi, yang sudah hidup dalam masyarakat Aceh secara turun temurun. Jika tidak, PKA sama saja dengan even-even kesenian yang diselenggarakan sanggar atau komunitas tingkat kampus, yang berkutat pada tari, band, teater konvensional, dan nyanyi-nyanyian. Jika begitu, bukankah PKA dapat diartikan sebagai Peusedoe Kebudayaan Aceh? Homhai…

Herman RN, cerpenis dan peminat seni tradisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar