Pakpak Bharat merupakan sebuah daerah yang mayoritas penduduk aslinya
adalah masyrakat suku Pakpak. masyarakat suku Pakpak ini adalah satu dari
sekian banyak suku yang ada di Indonesia yang masih sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya serta adat istiadatnya. Hal ini menunjukkan bahwa,
karakteristik budaya peninggalan leluhur masih tetap dipertahankan di dalam
masyrakatnya meskipun hidup di tengah-tengah belenggu modernisasi.
Selain kaya akan budaya, masyarakat Pakpak Bharat juga kaya akan potensi
sumber daya alamnya. Ini menjadi suatu nilai tambah guna membangun suatu
kondisi social masyarakat yang lebih baik. Bila kita lihat dari sudut pandang
sosio-kultural, relasi antara kondisi alam serta komponen budaya, maka sangat
terlihat jelas hubungan antar keduanya.
Salah satu potensi yang dimiliki daerah tersebut terletak pada potensi
sumber daya alam yaitu hutan. Hutan yang terletak di Pakpak Bharat terbentang
luas di daerah tersebut dengan banyaknya tanaman-tanaman seperti pohon
kemenyan, pohon pete, pohon durian, pohon kecing untuk papan dan lain
sebagainya. Sehingga menjadikan masyarakat setempat selalu menjaga dan
melestarikan kekayaan alam tersebut yang bertujuan untuk menambah daya tarik daerah
tersebut.
Dalam menjaga kelestarian tersebut penduduk setempat mempercayai akan
tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka seperti upacara-upacara adat,
kepercayaan akan hal-hal mistis, kepercayaan akan hal yang harus dan tidak
boleh dilakukan terhadap hutan tersebut.
Perlindungan
hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan umumnya melalui
seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi,
upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengolahan hutan yang
dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan tradisional dapat berfungsi
sebagai perlindungan hutan, seperti contoh pantang (tabu) untuk menebang pohon
tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu
masyarakat di daerah itu sendiri. Begitu juga halnya dengan masyarakat Pakpak
Bharat, yang mana kearifan tradisional masyarakat Pakpak dalam mengelola hutan,
khususnya hutan kemenyan yang memiliki nilai historis, ekonomis serta sosial
budaya tersendiri bagi masyarakat Pakpak.
Pantang Larang
Hutan adalah sebuah hal berupa larangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan
oleh masyarakat menyangkut pemanfaatan hutan. Pantang larang ini merupakan
tradisi turun temurun dari nenek moyang ke generasi - generasi selanjutnya yang
bertujuan untuk menghindari hal - hal yang dianggap akan berdampak tidak baik
bagi kehidupan masyarakat setempat, yang masih memiliki kepercayaan dalam hal
tersebut.
Alm.
G.Lingga dalam wawancara Salmon Lingga (1983:15) memaparkan:
“Ada pengisi alam yang unik, dimana sebagian orang menganggap
kekuatannya melebihi kekuatan manusia, dimana ia harus disembah dan diambil
hatinya. Selain itu kejadian-kejadian alam seperti banjir, gempa, penyakit, dan
sebagainya yang sangat membahayakan adalah perbuatan “oknum” tertentu yang mempunyai
kekuatan (Magis). Sioknum tersebut menurut pemeluk kepercayaan sipelebegu mau datang
kerumah dan mempunyai tubuh serta dapat berpindah-pindah. Ia juga berbentuk roh - jiwa tetapi tidak kelihatan dan mempunyai
sahala”
Berdasarkan pernyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa hal – hal gaib dan mistik yang berkembang secara turun
temurun menjadi hal yang mendasari adanya pantang larang yang berlaku
dimasyarakat yang masih berlaku hingga saat ini. Pantangan larangan tersebut
dalam aplikasinya di kehidupan social kultural masyarakat ini dilakukan sesuai
dengan tatanan kehidupan social bagaimana seharusnya manusia memperlakukan
lingkungan ekologisnya sesuai dengan nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat.
sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dimasyarakat tersebut.
Dalam hal pengendalian dan kontrol
sosial budaya, pantangan dan larangan tersebut diatur di dalam sebuah upacara tahunan yang disebut Mananda Tahunan. Upacara ini adalah
sebuah upacara ritual yang diselenggarakan oleh masyarakat Pakpak di Sisada
Rube kecamatan Pergentteng Gentteng Sengkut (PGGS) Kabupaten Pakpak Bharat,
Sumatera Utara. Upacara ini dilaksanakan setiap bulan Februari antara tanggal 1
sampai 10, menurut kepercayaan dan adat istiadat setempat, setelah tanggal
tersebut upacara tidak dapat dilaksanakan lagi. Upacara ini diselenggarakan
ketika menjelang musim bercocok tanam. Tujuan pelaksanaannya tidak hanya
ditujukan kepada aspek bercocok tanam saja, namun upacara ini juga bertujuan
untuk mengatur dan meramalkan segala aspek kehidupan untuk kesejahtera
masyarakat setempat.
Selain
didasarkan pada nilai – nilai warisan leluhur, sebenarnya masyarakat setempat
juga mengetahui dampak terhadap eksploitasi hutan secara berlebihan menurut
logika dan ilmu pengetahuan. Larangan dan pantangan yang berlaku menjadi
kontrol tidak hanya dianggap sekedar warisan dari leluhur, tetapi juga menjadi
control dalam hal penjagaan hutan dari segi ilmu pengetahuan. Misalnya,
masyarakat mempunyai kesadaran menjaga hutan karena hutan merupakan sumber air
dan air merupakan sumber kehidupan. Selain itu, masyarakat juga mengerti bahwa
membakar hutan tanpa pengawasan yang benar akan berdampak pada polusi yang
nantinya juga akan dirasakan oleh masyarakat. Hal
tersebut berdampak sangat relevan terhadap kehidupan social masyarakat
setempat. Pantang larang tersebut benar – benar dipatuhi dan dijalani oleh
masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pantangan dan
larangan yang telah diatur sesuai dengan adat istiadat yang berlaku sebenarnya
dilakukan bukan untuk membatasi kegiatan agraris masyarakat setempat. Tetapi
pantang larang ini dilakukan dengan tujuan menghormati leluhur yang telah
mewarisi alam secara turun – temurun.
Dampak positif secara nyata
dirasakan oleh masyarakat yang mematuhi pantang larang tersebut, contohnya
lahan yang telah dibuka dan difungsikan secara produktif akan menghasilkan
hasil alam yang melimpah. Dan hasil alam tersebut dapat menunjang perekonomian
masyarakat.
Kemudian, dampak positif lainnya
adalah alam sekitar pembukaan lahan tetap terjaga
kelestariannya. Sehingga tidak terjadi eksploitasi lahan hutan secara
berlebihan. Oleh karena itu, pantang larang terhadap hutan yang berlaku
dimasyarakat Pakpak Bharat khususnya masyarakat Kucupak sangat berdampak bagi
keberlangsungan kelestarian hutan di daerah tersebut.
Salah satu ketentuan yang diatur
dalam upacara tersebut adalah tata cara membukaan lahan (menoto = meminta izin)
pembukaan lahan. Dalam ritual di tetapkan bahwa kegiatan menoto tersebut dapat
dilakukan pada bulan April. Kegiatan yang dilakukan adalah membersihkan lahan
yang akan digunakan. Kemudian pada bulan Juni, kegiatan dilanjutkan dengan
pembakaran lahan. Barulah kemudian lahan tersebut dapat digunakan dan lahan
yang telah dibuka tersebut harus difungsikan secara produktif. Ritual tersebut
dilakukan dengan tujuan memperoleh izin dan “keberkahan” dari Yang Maha Kuasa.
Secara
umum, letak geografis kabupaten Pakpak Bharat memang terletak di wilayah
pegunungan. Namun, untuk upacara menahun tidak dilaksanakan oleh semua
kecamatan dikabupaten tersebut. Hanya di Sisada Rube yang merupakan wilayah
konsentrasi pemukiman masyarakat kecupak dan Simapera yang menjadi satu –
satunya lokasi pelaksanaan Upacara Menahun.
Upacara menahun ini hanya boleh
dilaksanakan oleh marga Manik yang memang secara historis menjadi marga pertama
yang tiba di daerah tersebut. Nenek moyang marga Maniklah yang pertama kali
melakukan ritual tersebut. Marga Manik dan keturunannya dianggap memiliki aura
dan kekuatan magis khusus untuk melakukan ritual tersebut. Oleh sebab itulah
hanya keturunan Marga Manik yang boleh menjadi pelaksana upacara manahun
tersebut. Sedangkan warga dari marga lainnya hanya boleh menjadi peserta dan
juga berkewajiban melaksanakan serta mematuhi peraturan yang telah ditetapkan
dalam upacara tersebut.
Pada dasarnya, tidak seluruh
masyarakat di kucupak dan sekitarnya mengerti dan paham akan tradisi upacara
menahun. Namun, mereka tetap mengikuti upacara tersebut tanpa paksaan.
Masyarakat mengikuti ritual lebih karena kesadaran akan budaya leluhur yang
harus dilestarikan. Selain itu, meskipun tidak mengikuti ritual, masyarakat
tetap akan mematuhi peraturan yang telah di tetapkan dalam ritual. Masyarakat
tetap akan melakukan kegiatan sehari – hari sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan.
Secara umum, 80 persen masyarakat
kucupak dan sekitarnya mempercayai dampak yang akan ditimbulkan oleh
pelaksanaan ritual. Sehingga, sangat jarang terjadi pelanggaran dan sangat
jarang ada masyarakat yang melanggar pantangan – pantangan yang telah ditetapkan.
Jikapun ada yang melanggar, pemangku
adat akan memberikan sanksi tegas sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Misalnya, jika yang dilanggar hanya pelanggaran – pelanggaran kecil, si
pelanggar hanya diberikan sanksi berupa teguran dari pemangku adat dan juga
mendapatkan perlakuan pengucilan dari masyarakat. Namun, jika pelanggaran yang
dilakukan merupakan pelanggaran berat dan berdampak besar bagi masyarakat
sekitar, si pelanggar tersebut harus disidang dan dihukum sesuai dengan
kesalahannya. Contoh hukuman yang paling umum adalah si pelanggar harus menjamu
warga (melaksanakan acara makan bersama) dengan mengundang seluruh warga
termasuk 6 kuta 1 rube yang juga mengikuti ritual upacara manahun.
Masyarakat Pakpak Bharat yang tinggal di Sisadu Rube
Kecamatan Pakpak Bharat, Sumatera Utara merupakan salah satu masyarakat yang
masih sangat menghargai dan masih benar – benar melaksanakan setiap kegiatan
social masyarakat berdasarkan tatanan hukum adat yang berlaku.
Masyarakat masih percaya bahwa setiap kegiatan
social masyarakat harus didahului dengan suatu kegiatan tertentu berupa ritual.
Untuk masyarakat Pakpak di Sisada Rube sendiri, ritual yang dilaksanakan adalah
Mananda tahun yang rutin dilaksanakan setahun sekali dalam rangka pembukaan
lading, karena itu selalu dilaksanakan menjelang musim tanam dengan maksud agar
tidak menyalahi apa yang dipercayai sebagai ketentuan – ketentuan dari leluhur
dan hal – hal gaib bagi kelestarian ekosistem. Dengan demikian usaha perladangan
akan memperoleh “keberkahan” dari Yang Maha Kuasa.
Aturan – aturan yang telah ditetapkan pada upacara
menahun tersebut ternyata berdampak sangat signifikan bagi kehidupan
masyarakat. Dengan adanya pantang larang yang telah ditetapkan tersebut,
menjadi control bagi masyarakat untuk tidak membuka lahan, membakar atau
menebang hutan secara sembarangan. Masyarakat juga lebih berhati – hati dalam
bertindak terhadap alam, dan masyarakat menjadi lebih mengerti hak dan tanggung
jawabnya terhadap hutan.
Mungkin secara umum,
masyarakat Aceh sendiri tidak mungkin menerapkan hal demikian dalam hal ritual
pelestarian hutan. Namun ada kearifan lokal tersendiri yang juga dimiliki oleh
masyarakat Aceh yang juga dapat digunakan sebagai kontrol sosial dalam
pelestarian hutan. Kembali kepada nilai - nilai spiritual bahwa hutan, dan
seluruh alam semesta adalah nikmat Allah swt yang ditipkan kepada kita, untuk
dijaga, agar kelak anak cucu dan generasi setelah kita mampu merasakan nikmat
yang sama seperti kita, demikian seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar