Selasa, 01 April 2014

Menuju Visit Bireuen 2018 : Mau Lihat Apa Kita Jika ke Bireuen?

Sekitar bulan September 2013 yang lalu, kira – kira menjelang Acara PKA VI. Saya melihat baliho yang menarik di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh, “Visit Bireuen 2018”. Kemudian saya bingung harus bahagia atau prihatin. Sebagai putri asli Bireuen, bagaimana saya tidak bahagia, Bireuen ternyata sudah sedemikian siapnya untuk menyambut tamu baik domestik maupun manca negara melalui agenda tersebut. Hal tersebut otomatis menjadikan Bireuen sebagai salah satu tujuan wisata dan melalui agenda tersebut pula, minimal masyarakat Bireuen ‘keciprat’ pendapatan tambahan melalui pemberdayaan ekonomi sektor pariwisata. Disisi lain, siapa yang tidak prihatin, siapkah Bireuen? Apakah dalam jangka waktu paling tidak 4 (empat) tahun Bireuen mampu menyiapkan ‘rumah’ yang akan di kunjungi oleh orang- orang dari penjuru daerah, bahkan dunia? Tentu kemudian timbul pertanyaan – pertanyaan lain yang secara tidak langsung meragukan potensi Bireuen, atau dalam hal ini Pemda Bireuen dalam langkahnya menyelenggarakan Visit Bireuen 2018. Pasca terpasangnya baliho tersebut dan kemudian iklan – iklan lainya yang juga mempromosikan “Visit Bireuen 2018”, semua pihak tentunya pasti kurang lebih akan berpikiran hal yang sama dengan saya. Siapa yang tak kenal Bireuen, Daerah yang resmi menjadi Kabupaten pada tahun 2000 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara. Terletak di ‘segitiga emas’ jalur transportasi Aceh, Bireuen jelas menjadi Kabupaten yang notabene lebih berkembang dibanding Kabupaten lain yang padahal usia terbentuknya terbilang sama. Sekedar informasi, menurut teori Ilmu Ekonomi Perkotaan yang telah saya pelajari, Bireuen merupakan satu – satunya daerah di Aceh yang memenuhi standar menjadi Kota. Dengan demikian, Baik dari segi sosial maupun ekonomi, Bireuen setidaknya memiliki standar di atas rata – rata dibandingkan daerah lainnya di Aceh. Kembali lagi ke wacana “Visit Bireuen 2018”. Sebenarnya, seberapa menarik Kabupaten Bireuen menjadi daerah tujuan wisata? Apa yang akan kita lakukan jika berwisata ke Bireuen? Melalui tulisan ini, saya sedikit ingin memaparkan ‘Bireuen kurang – lebih’ dari kacamata pribadi saya. Biar bagaimanapun, saya lahir dan besar di Bireuen. Siapa yang tidak bahagia melihat daerah kelahirannya, kampung halamannya menjadi sorotan untuk hal – hal yang positif. Saya juga sudah pernah menjadi Duta Wisata Bireuen (engga ding, cuma Finalis -__-“ ) jadi saya akan memaparkan beberapa hal yang akan ‘memaksa’ siapapun untuk berkunjung ke Bireuen. Terlepas dari Visit ini Visit itu. Sejarah Bireuen Berbicara soal sejarah, mungkin hal ini yang paling – tidak enak untuk dibahas – menurut saya. Bukan karena tidak ingin menghargai kisah – kisah masa lalu, tapi berbeda sumber yang bercerita, maka berbeda pula sumber yang didapatkan. Mulai dari cerita Ayahnek Nyaknek dulu, cerita Ayah, cerita Pakwa Nyakwa, dan para Petua lainnya, tidak ada satupun sumber yang memiliki cerita yang sama. Saya sempat mencoba googling dan, taa – daa... sudah begitu banyak tulisan – tulisan yang kurang lebih sudah menceritakan asal muasal Bireuen. Namun yang paling menarik dari semua cerita adalah cerita mengenai asal muasal penyebutan Bireuen sebagai Kota Juang. Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda. Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno. Bahkan peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini, begitu besar jasanya. Perjalanan sejarah telah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh pernah dipusatkan di Bireuen. Saat itu dibawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang berkedudukan di Meuligoe Bupati yang sekarang, pernah menjadi kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai Kota Juang. Presiden Soekarno juga pernah mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, yang bermarkas di Kantor Divisi X di Meuligo Bupati Bireuen yang sekarang. Bireuen pernah menjadi ibukota RI yang ketiga selama seminggu, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan penjajah dalam agresi Belanda. Meuligoe Bupati Bireuen yang sekarang ini pernah menjadi tempat pengasingan presiden Soekarno. Bahkan peran dan pengorbanan rakyat Aceh atau Bireuen khususnya, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini, begitu besar jasanya. Perjalanan sejarah telah membuktikannya. Di zaman Revolusi 1945, kemiliteran Aceh pernah dipusatkan di Bireuen. Saat itu dibawah Divisi X Komandemen Sumatera Langkat dan Tanah Karo dibawah pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef yang berkedudukan di Meuligoe Bupati yang sekarang, pernah menjadi kantor Divisi X dan rumah kediaman Panglima Kolonel Hussein Joesoef. Waktu itu Bireuen dijadikan sebagai pusat perjuangan dalam menghadapi setiap serangan musuh. Karena itu pula sampai sekarang, Bireuen mendapat julukan sebagai Kota Juang. Presiden Soekarno, juga pernah mengendalikan pemerintahan RI di rumah kediaman Kolonel Hussein Joesoef, yang bermarkas di Kantor Divisi X di Meuligo Bupati Bireuen yang sekarang. Bireuen menjadi ibukota RI ketiga, setelah jatuhnya Yogyakarta Ibukota RI yang kedua, kembali dikuasai Belanda. Kebetulan Presiden Soekarno juga berada di sana saat itu,menjadi kalang kabut. Akhirnya Soekarno memutuskan mengasingkan diri ke Bireuen pada Juni 1948, dengan pesawat udara khusus Dakota yang dipiloti Teuku Iskandar. Pesawat itu turun di lapangan Cot Gapu, yang saat ini menjadi lokasi Stadion Cot Gapu Bireuen. Meuligo Bireuen, yang saat ini masih berdiri kokoh ditengah – tengah Kota Bireuen, jelas dapat menjadi alternatif wisata sejarah. Melalui wisata sejarah tersebut, orang – orang yang berkunjung akan mendapatkan informasi kejayaan masa lalu. Istimewanya, Bireuen saat itu terpilih menjadi Ibu Kota Negara Indonesia, satu – satunya di daerah Aceh. Potensi Wisata Berbeda dengan daerah lain yang lebih spesifik mengembangkan tema wisata tertentu, Bireuen tentunya memiliki keanekaragaman potensi yang dapat di kembangkan secara beriringan. Seperti yang telah saya sebutkan, letak Bireuen yang sangat strategis dan sering disebut sebagai “Segitiga Emas Aceh” menjadikan Bireuen sebagai penghubung Kabupaten - kabupaten lain disekitarnya. Tentunya dengan kelebihan yang sedemikian rupa, tidak sulit bagi Bireuen untuk berkembang, dan tidak terlalu muluk – muluk jika “Visit Bireuen 2018” benar – benar terlaksana. Bireuen memiliki destinasi wisata yang sangat komplit dan beragam, berikut spesifikasinya: Wisata Sejarah dan Budaya • Tugu Batee Kureng Tugu Bate Kureng adalah salah satu tugu yang terletak di jantung Ibukota Bireuen tepatnya di depan Meuligoe Bupati. Diatasnya terdapat batu besar dan telah menjadi lambang kehidupan bagi masyarakat Kabupaten Bireuen. Tugu ini terpancar sebuah ketegaran, ibarat kata “tak lekang di bakar panas, tak lapuk di guyur hujan”. Awalnya letak Batu ini tepat di depan Meuligo Bupati, tetapi agar lebih indah, Batu ini kemudian di pindahkan ditengah – tengah kota. Masih berada di depan Meligo, hanya saja berada di luar pagar Meuligo itu sendiri. • Meuligoe Bupati Meuligoe Bupati merupakan tempat kediaman Bupati Bireuen, meuligoe ini merupakan salah satu bangunan peninggalan Belanda, seperti yang telah diceritakan pada sejarah Bireuen diatas, saat awal – awal masa kemerdekaan Presiden RI 1 ( Ir. Soekarno ) pernah menginap di meuligoe ini pada saat beliau berkunjung ke Aceh. Dan Meuligo ini pernah menjadi Pusat Pemerintahan saat Bireuen menjadi Ibu Kota Negara Indonesia. • Tugu Juang Tugu juang merupakan tugu perjuangan rakyat dimasa penjajahan Belanda. Tugu ini adalah kenangan sejarah Aceh. Tugu juang ini terletak di jantung kota Bireuen. Bersebelahan dengan Batee Kureng. • Tugu Perjuangan Batee Iliek. Objek wisata budaya ini terletak di desa Bate Iliek Kecamatan Samalanga dan merupakan land mark Kota Bireuen sebagai simbul Kota Juang. • Makam Pahlawan 44 Makam pahlawan ini terdapat di Desa Leku Kecamatan Pandrah. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 25 Km dari ibukota kabupaten. • Makam Tgk. Cot Di Lereueng Makam ini terletak di Desa Cot Tufah Kecamatan gandapura, bila ingin melakukan ziarah ke makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak sekitar 20 Km. • MakamTgk. Banta Ahmad Makam ini terdapat di Desa Samuti Krueng Kecamatan Gandapura. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 20 Km dari ibukota kabupaten. • Makam Bantara Blang Mee Makam ini terletak di Desa Babah Jurong Cot Kecamatan Kuta Blang. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak tempuh sekitar 18 Km dari ibukota kabupaten. • Makam Raja Baroa Objek wisata ziarah ini terdapat di Desa Gampong Raya Tambo Kecamatan Peusangan. Makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 13 Km dari ibukota kabupaten. • Makam Tgk. Di Batee Beutong Makam ini terdapat di Desa Krueng Juli Barat Kecamatan Kuala. Untuk mencapai objek wisata ziarah ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 3 Km dari ibukota kabupaten • Makam Tgk. Meurah Bireuen Objek wisata ziarah ini terdapat di Desa Geudong Kecamatan Kota Juang. Untuk melakukanziarah ke makam ini dapat ditempuh dengan jarak 1 Km dari Kota Bireuen. • Makam Jeurat Manyang Makam ini terdapat di Desa Blang Kubu Kecamatan Peudada. Untuk melakukan ziarah ke makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 5 Km dari ibukota kabupaten. • Makam Tgk. Marhum Objek wisata ziarah ini terdapat di Desa Garot Kecamatan Peudada. Untuk melakukan ziarah ke makam ini dapat ditempuh lewat jalan darat dengan jarak 6 Km dari ibukota kabupaten. • Rumah Adat dan Makam Tgk Awe Geutah Rumoh Tgk. Di Awe Geutah adalah peninggalan ulama kharismatik Tgk. Chik Abdurrahim di Gampong Awe Geutah Kecamatan Peusangan Siblah Krueng. Rumah ini diperkirakan telah dibangun 500 tahun yang silam. Dalam komplek Rumoh Tgk. Di Awe Geutah ini juga terdapat Mon Kaluet (Sumur Semedi) tempat para ulama dan para santri bersemedi. Tgk. Chik Awe Geutah merupakan ulama besar yang cukup berjasa dalam pengembangan ajaran islam dalam wilayah pase pada khususnya dan Aceh pada umumnya semasa kesultanan Iskandar Muda. • Makam Raja Jeumpa Objek wisata ziarah ini terletak di Desa Geudong Kecamatan Kota Juang.Untuk melakukan ziarah ini dapat ditempuh lewt jalan darat dengan jarak 1 Km dari ibukota Kabupaten • Makam Tgk Dilapan Makam syuhada 8 adalah makam para ulama Aceh yang syahid dalam peperangan. Makam ini terletak di sebelah barat Kota Bireuen sekitar 30 km, tepatnya di Cot Batee Geulungku Kecamatan Simpang Mamplam, berada disisi jalan Medan-Banda Aceh. Makam ini dianggap sakral (keramat) oleh masyarakat sehingga selalu disinggahi pengunjung yang melintasi jalan tersebut. Wisata Air dan Bahari • Pantai Ujong Blang Ujong Blang menjadi salah satu tujuan rekreasi masyarakat, dan selalu ramai dikunjungi diakhir pekan. Pemandangan pantai yang indah menjadi daya tarik pantai ini. Selain itu lokasinya juga tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk. • Pantai Kuala Jeumpa Dipantai ini selain sebagai tempat wisata pengunjung menikmati pemandangan pantai, juga sebagai tempat para nelayan menangkap ikan. Selain itu, jika sesekali nelayan memiliki waktu luang, nelayan dapat menawarkan jasa keliling pantai dengan menggunakan perahu nelayan. • Krueng Simpo Merupakan tempat rekreasi yg banyak dikunjungi, karena panorama sungai yang indah serta pemandangan alam yg mempesona. Selain itu air sungai yang masih sangat jernih dan kondisi lingkungan sekitar yang masih sangat alami • Batee Iliek Merupakan tempat rekreasi ekowisata yang terletak dilintas jalan Negara Medan - Banda Aceh dan terletang di perbatasan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Pidie Jaya. Tidak hanya menjadi tempat rekreasi, lokasi ini juga menjadi tempat persinggahan masyarakat yang melakukan perjalanan lintas Sumatera. Wisata Kuliner Berbeda dengan dengan daerah lainnya di Aceh, Bireuen lebih memiliki keanekaragaman kuliner yang khas dibanding daerah lainnya. Kuliner yang terdapat di Bireuen lebih memiliki ciri yang khas baik dari segi taste (cita rasa), maupun hal yang special lainnya yang tidak dapat ditemukan di daerah lain. Berikut adalah beberapa kuliner yang terdapat di Bireuen : • Kripik Bireuen Warga kabupaten/kota lain yang melintasi Bireuen dipastikan akan singgah di ‘Kota Juang’ itu untuk membeli keripik yang terdiri dari keripik pisang, ubi, dan keripik sukun. Keripik itu sudah menjadi oleh-oleh khas dari Bireuen. Keripik pisang yang diolah dari pisang monyet dan pisang kepok itu disajikan dengan rasa manis dan asin. Sedangkan keripik ubi punya pilihan rasa original, rasa jagung, dan pedas. Sementara keripik sukun digoreng dengan satu rasa yaitu rasa original. Semua jenis keripik itu dijual di kios yang dibangun berderetan di kiri dan kanan jalan mulai dari kawasan Cot Gapu sampai ke Cot Keutapang, Bireuen. KERIPIK pisang dan beberapa jenis makanan ringan lain di Bireuen memang sudah dikenal luas. Namun, kebanyakan usaha kecil belum ditopang modal yang memadai. Sehingga ada usaha yang bertahan satu tahun, kemudian tidak kelihatan lagi. Jadi, pemerintah perlu melestarikan dan mempromosikan makanan khas itu ke luar daerah, dan bila perlu sampai ke luar negeri. Pemerintah juga harus melindungi dan mengawasi produk tersebut agar kualitasnya tetap terjaga dengan baik. • Nagasari Selain aneka keripik, kue nagasari yang diproduksi di Bireuen juga menjadi oleh-oleh khas dari kabupaten itu. Karena itu, tak heran bila di setiap tempat penjualan pasti juga dijual nagasari. Kue nagasari BIreuen sudah terkenal sejak belasan tahun lalu. Kue itu dibuat oleh salah satu keluarga, dan kemudian usaha tersebut diteruskan secara turun temurun. Sekarang, sudah banyak tempat yang menjual nagasari di kawasan Bireuen. • Sate Matang Begitu juga sate Matang yang dijual di Keude Peusangan, rasanya cukup pas. Rasa seperti sekarang harus dipertahankan, karena saat ini banyak muncul sate-sate matang di tempat lain, tapi rasanya memang beda. Bumbu sate di Matang sekarang harus dijaga, sehingga cita rasa tidak berubah. Makanan ini tak bisa lagi sembarang dijual atau ditiru oleh orang luar Aceh. Dengan hak paten itu, makanan khas tanah rencong ini akan tetap berkembang dan terjaga. Disebutkan, harga satu tusuk sate matang sesuai ketetapan semua pedagang di kawasan itu adalah Rp 2.500. Siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi atau teguran. Selain di warung tersebut, sate mate juga dijual di hampir seluruh warung di Keude Matanggeulumpang Dua. Bahkan, kuliner asal Bireuen ini sudah dijual di setiap kabupaten/kota di seluruh Aceh, Medan dan bahkan Jakarta. Masih banyak juga makanan – makanan khas lainnya yang ada di Bireuen. Bu Sie Itek Bireuen juga tidak kalah asik. Mengusung konsep street food, Bu sie itek ini merajai jalan – jalan utama Bireuen pada malam hari. Dan kuliner ini sudah go kemana – mana. Selain makanan khas asli Aceh, ada pula makanan lintas etnis. Bireuen memang terkenal dengan banyaknya warga Cina / Tionghoa yang menetap di Bireuen. Karena sudah menetap dan menjadi warga Bireuen cukup lama, terdapat akulturasi budaya di masing – masing kegiatan sosial maupun ekonomi. Yang cukup menarik adalah alkulturasi kuliner. Ada ‘Warkop Tandjung’ yang terkenal dengan kopi saring serta roti bakar selai yang punya cita rasa khas, mie tiaw, dan yang the most fovorite adalah mie pangsit. Dan saat ini, kuliner hasil alkulturasi tersebut sudah bisa kita temui di bagian manapun di Bireuen, tidak hanya di jual oleh etnis Cina / Tionghoa saja. Well, setelah panjang lebar. Dengan optimis saya MENDUKUNG VISIT BIREUEN 2018. Saya hanya bisa mempromosikan. Selebihnya, peran dan dukungan secara sepenuhnya harus dilakukan oleh Pemda Bireuen untuk memaksimumkan upayanya menargetkan Visit Bireuen 2018 ini. Bireuen masih kurang disana – sini, banyak pihak yang masih ragu. Dan merupakan tugas semua masyarakat Bireuen pula untuk meyakinkan setiap keraguan tersebut. Dukungan seluruh masyarakat jelas tak kalah penting. Semua warga Bireuen wajib melestarikan nilai budaya dan warisan alam yang telah di titipkan di Bireuen. Kemudian sebelum Visit Bireuen ini terlaksana, sebaiknya kita semua berbenah dan mempersiapkan diri, mempersiapkan ‘rumah’ kita yang nantinya akan di kunjungi oleh berbagai tamu dari seluruh pelosok negeri. Semoga kearifan lokal tetap terjaga, semoga aman, damai dan bermanfaat bagi semua pihak. Jadi, masih adakah pertanyaan “Mau lihat apa kita jika ke Bireuen?”

Sabtu, 22 Februari 2014

Jeget Ayu, Serpihan Pulau Jawa yang terdampar di Aceh



Jagong Jeget merupakan salah satu kecamatan dari Kabupaten Aceh Tengah, Propinsi Aceh, jagong Jeget merupakan kecamatan paling ujung Kabupaten Aceh Tengah yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Jagong Jeget berada di ketinggian 1500 mdpl, sehingga membuat daerah ini sangat dingin. Suhu terendah dapat mencapai 14 derjat celcius.
                Jeget Ayu merupakan ibukota kecamatan Jagong Jeget, desa ini merupakan desa terluas, dengan luas secara keseluruhan yaitu 24 km2, masing-masing 13,25 km2 luas kampung dan 10,75 km2 luas perkebunan. Terdiri dari 5 dusun, yaitu Dusun Tambak Sari, Wih Empan, Suka Maju, Suka Makmur, dan Gedum Malik.
Wilayah Jeget Ayu secara umum memiliki ciri geologis berupa dataran tinggi,  lahan perkebunan, ladang yang sangat cocok untuk tanaman jenis palawija dan buah-buahan, dan juga tambak-tambak ikan air tawar yang dibangun di depan rumah warga,sebagian besar masyarakat Jeget Ayu adalah petani kopi yang kesehariannya menghabiskan waktu di kebun, para pedagang yang mendiami pasar yang umumnya merupakan pendatang, dan hanya sebagian kecil yang bekerja di instansi pemerintah.
Kampung Jeget Ayu memiliki fasilitas dan sarana publik lengkap, ini dikarenakan kampung ini berada di pusat kecamatan, fasilitas yang dimiliki antara lain sekolah antara lain PAUD, TK, RA, MIN, SD, MTsN, SMP, SMA dan SMK. Fasilitas lain seperti Kantor Kecamatan, Balai penyuluhan pertanian, Puskesmas kecamatan, Danramil, PLN, Bang BRI dan Bank Aceh, Balai Desa, Polindes, mesjid dan musalla di setiap dusunnya.
Sejarah Awal
                Kecamatan Jagong Jeget pada mulanya adalah Desa Transmigran. Pada tahun 1982, warga dari pulau Jawa didatangkan ke Desa Jagong (saat itu masih bergabung bersama Isaq). Masyarakat yang di sebut Transmigran bertransmigrasi dan dikirimkan resmi oleh Pemerintahan Indonesia pada saat itu. Oleh sebab itu lah higga saat ini, penduduk Jagong 80 persen diantaranya merupakan penduduk suku Jawa.
                Menurut cerita warga tetua. Pada awal dikirim menjadi transmigran ke Jagong, mereka hanya bermodalkan uang pas – pasan. Tidak membawa apa – apa. Setibanya di Jagong yang saat itu masih berupa hutan yang sangat lebat, mereka hanya diberikan sepetak tanah dan rumah sebagai modal awal. Saat itu, makanan dan kebutuhan lainnya masih dijatahi oleh Perusahaan yang menjadi devloper desa. Masyarakat Transmigrasi benar – benar memulai usahanya dalam hal pembangunan desa mulai dari ).
                Awalnya, Jagong adalah salah satu desa di bawah kecamatan Isaq. Kemudian Desa tersebut terbagi menjadi 4 Dusun, salah satunya Dusun Jeget Ayu. Kemuadian seiring dengan perkebangan masyarakat desa, akhirnya Jagong terpisah dari Isaq dan membentuk Kecamatan sendiri.
                Pada masa sebelum konflik Aceh berkecamuk. Kecamatan Jagong Jeget merupakan salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Aceh. Pada masa itu kopi yang dihasilkan tidak hanya dipasarkan di wilayah Indonesia saja, tetapi sampai ke manca negara. Pada saat itu pula, transaksi perdagangan biji kopi mencapai Rp 250 Juta – Rp 500 Juta per harinya. Namun, karena konflik, ruang gerak masyarakat desa menjadi lebih sempit, petani yang merupakan suku Jawa banyak yang pulang kampung, perkebunan kopi tidak dipedulikan lagi, akhirnya geliat perdagangan kopi menjadi memudar.
                Meski sudah berpuluh tahun tinggal di tanah Aceh. Masyarakat Transmigrasi tidak meninggalkan nilai – nilai budaya dan kearifan lokal kampung halaman mereka. Masyarakat masih tetap melestarikan budaya Jawa meski mereka tidak lagi berada di kampung halaman mereka. Bahkan yang menarik adalah, masyarakat masih menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa komunikasi sehari – hari. Sampai – sampai kami yang KKN di sana seperti sedang berada di desa – desa umumnya di pulau Jawa.
                Hal ini lah yang kemudian menjadi menarik bagi saya, tinggal dan menetap di daerah yang sebelumnya – bahkan namanya saja belum pernah saya dengar. Hal yang paling membekas adalah pada saat mengetahui jika 80 persen masyarakatnya adalah penduduk Jawa. Meski berada di dataran tinggi Gayo, masyarakat Desa tidak sedikitpun menggunakan bahasa Gayo dalam komunikasi sehari hari. Kecuali jika memang masyarakat adalah pendatang dari Gayo.
                Tidak hanya dari segi bahasa, tata cara, budaya, dan kearifan lokalpun benar – benar mencirikan masyarakat suku Jawa pada umumnya. Jika di Aceh ceramah Maulid disampaikan dengan menggunakan Bahasa Aceh – Indonesia, di Jagong, Ceramah disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa – Indonesia. Selain itu, mulai dari acara pernikahan, shalawatan, pengajian, rebana, penyelenggaraan Maulid semuanya dilaksanakan dengan ciri khas Jawa.
                Menarik, saat mengetahui ternyata  didataran tinggi Gayo, ada sebuah Desa (yang mungkin) adalah serpihan Pulau Jawa yang terdampar, di Aceh.
                Demikianlah sedikit cerita mengenai sejarah desa Jeget Ayu yang merupakan cikal bakal Kecamatan Jagong Jeget J

(Artikel ini juga dipublish di blog http://kkn-unsyiah-jegetayuacehtengah.blogspot.com )

Kamis, 20 Februari 2014

Saat Kemarau dan Banjir datang di saat yang Bersamaan


          Dalam sepekan terakhir, media memuat informasi mengenai kekeringan yang melanda beberapa daerah di Aceh. Bahkan begitu parahnya kekeringan yang melanda, sehingga di beberapa daerah di Aceh debit air berkurang, lahan persawahan pun kering kerontang nyaris gagal panen, dan perkebunan terbakar. Udara terasa kering dan panas. Di beberapa daerah lainnya bahkan masyarakat harus mencari air hingga ke kaki pegunungan dengan susah payah meski air yang di dapatkan bahkah keruh dan tidak jernih.

          Sebenarnya apa yang sedang terjadi di Aceh, apakah ini (bentuk lain) atas teguran dari Allah swt kepada masyarakat Aceh?

          Lain di Aceh, lain pula di Pulau Jawa. Saat daerah Aceh sedang dilanda kekeringan dan panas luar biasa. Di daerah Jawa malah lain cerita. Daerah Jawa malah dilanda hujan lebat tidak henti – hentinya hingga debet air disungai meningkat drastis dan menyebabkan banjir disebagian besar daerah pulau Jawa. Mengapa hal ini bisa terjadi? Aceh sebenarnya sedang berada di permulaan dari musim kemarau. Beberapa daerah di Aceh sudah merasakan kekeringan selama beberapa minggu, dan ada yang sudah merasakannya sejak bulan Desember, terutama mereka yang berada di wilayah pantai barat dan selatan Aceh.

          Siklus ini, terjadi karena adanya gerakan matahari sepanjang tahun dari Garis Balik Utara (di 23,5 derajat Utara, tanggal 21 Juni) ke Garis Balik Selatan (di 23,5 derajat Selatan, tanggal 23 September) dan sebaliknya. Gerakan ini menghasilkan muslim hujan dan musim kemarau yang bergilir di belahan bumi selatan dan utara. Dari bulan Oktober hingga Maret, matahari berada di belahan bumi selatan sehingga belahan bumi selatan mendapat lebih banyak hujan dan belahan bumi utara mengalami musim kering. Sementara itu, dari bulan April hingga September, matahari berada di belahan bumi utara sehingga belahan bumi utara mendapat banyak hujan dan belahan bumi selatan mendapat musim kering. (wikipedia.org)

Secara teori Aceh mendapat curah hujan pada bulan Oktober-November dan April-Mei yaitu saat matahari melintas di atas wilayah Aceh. Kekeringan yang melanda Aceh di bulan Januari dan Februari ini, karena Aceh berada di belahan bumi utara. Penguapan yang terjadi di Aceh selama Januari dan Februari lebih banyak dibawa ke selatan oleh angin, untuk membentuk awan-awan hujan di atas wilayah Jawa dan Sumatera Selatan. Oleh sebab itulah pada saat kita mengalami kemarau dan kekeringan, saudara kita di Pulau Jawa justru kebanjiran.

Siklus tersebut seyogyanya memang rutin terjadi setiap tahunnya. Tetapi mengapa kemarau tahun ini sangat terasa terjadi begitu lamanya? Mengapa kekeringan terjadi hingga sumber air bebenar – benar kering?

Hal inilah yang kemudian sebenarnya menjadi masalah. Tanah di sebagian daerah Aceh sudah tidak memiliki kemampuan untuk menahan air. Air yang turun sebagai hujan di musim penghujan, langsung teraliri sungai dan dibawa langsung ke laut, tidak banyak air yang ditampung oleh tanah. Berkurangnya kemampuan tanah dalam menampung debit air disebabkan oleh tidak tersedianya lagi tumbuhan dan pepohonan yang mampu menyerap air untuk disimpan didalam tanah. Laju deforestasi hutan yang sangat tinggi, dan pola pertanian yang tidak lagi mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan, telah menyebabkan sebagian besar air hujan hanya terbuang ke laut.

Ternyata, kasus serupa tidak hanya menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor, ternyata kemarau berkepanjangan juga disebabkan oleh kurangnya kesadaran kita akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan.

Selanjutnya pilihan ada ditangan kita. Masihkah kita mau kemarau dan banjir datang di saat yang bersamaan?















H.u.j.a.n

Hujan seperti anak panah yang lepas. Menerbangkan asa orang orang yang luput dari kemarau Seperti cipratan ketidakmampuan harus bersedih atau besuka cita Hujan selalu punya cerita Ada malam yang menggauli pagi. Ada siang yang kedinginan di balik matahari Awan kemudian memberat Merintik dalam rongga dada Menerjemah dalam basah Suara suara langit masih saja bercengkrama

Sabtu, 11 Januari 2014

Green Economic for Sustainable Development

Sat ini, pola hidup masyarakat modern telah membuat pembangunan sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam dan dalam waktu yang sangat singkat dapat mengancam kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pembangunan yang berkelanjutan pada dasarnya akan berdampak positif bagi keberlanjutan dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan yang bertumpu pada produksi tersebut terbukti membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi dalam jangka waktu tertentu, pembangunan tersebut dinilai gagal di bidang sosial dan lingkungan. Sebut saja, meningkatnya emisi gas rumah kaca akibat dampak dari pertumbuhan industri, berkurangnya areal hutan untuk digunakan sebagai areal lahan produksi, serta musnahnya berbagai spesies dan keanekaragaman hayati.
Hal inilah yang kemudian yang menjadi initiatif tentang ekonomi modern yang merespon persoalan lingkungan dan menjawab masalah kemiskinan serta kesenjangan ekonomi dunia.

Inisiatif Green Economy dalam Tatanan Global

Pada dasarnya, sebagaimana diketahui prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”.Kemudian hal ini menjadi polemik, bagaimana pembangunan dapat berlanjut sedangkan sumber daya yang tersedia tidak dapat diperbaharui dalam waktu yang singkat.

Permasalahan tersebutlah yang kemudian melatar belakangi lahirnya gagasan tentang Green Economic.
Program Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy menyebutkan, Green Economic (ekonomi hijau) adalah ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam.

Gagasan ini terbentuk pula karena adanya keyakinan para ekonom environmentalist dunia tentang kegagalan pasar “market failure” yang menumbuhkan ketidakpercayaan akan sistem kapitalis karena telah memunculkan persoalan kemiskinan dan ketidakadilan global. Sementara aktivitas-aktivitas ekonomi telah mengakibatkan bermunculannya permasalahan lingkungan seperti krisis ekologi, eksploitasi sumber daya alam yang mengakibatkan pada kelangkaan, hingga berujung kepada isu yang menuntut perhatian khusus warga dunia, yaitu perubahan iklim “climate change” dan pemanasan global “global warming.Sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan motor utama pembangunan berkelanjutan.

Isu Green Economic sebenarnya bukan agenda yang baru. Sejak tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa green economy sudah menjadi ideologi baru dunia yang harus dijaga dengan kebijakan yang benar. Namun, model pembangunan ekonomi yang diterapkan untuk mengembangkan pembangunan ekonomi sekarang ini cenderung ekstraktif dan berjangka pendek, sehingga pendekatan green economy yang menjamin terpeliharanya hubungan timbal balik antara pembangunan ekonomi dan keberlanjutan fungsi lingkungan dalam mendukung terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan harus segera dimulai.
Dari sini terlihat pentingnya perubahan paradigma dan perilaku untuk selalu mengambil setiap kesempatan dalam mencari informasi, belajar dan melakukan tindakan demi melindungi dan mengelola lingkungan hidup. Dengan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Konsep ekonomi hijau diharapkan menjadi jalan keluar. Menjadi jembatan antara pertumbuhan pembangunan, keadilan sosial serta ramah lingkungan dan hemat sumber daya alam. Tentunya konsep ekonomi hijau baru akan membuahkan hasil jika kita mau mengubah perilaku.