Sabtu, 23 November 2013

Untuk Cut Bang

Matamu bergerak berlari
Ada sejumput asa disana, bermakna
Meski tak pernah kau ucap kata cinta
Aku tau, aku lah yang paling kau damba
Diantara senyum sinar binar wajah sendu mendayu
Tembus naluriku lewati sanubariku
Hati, jiwa, sampai perasaan terdalam
Semoga kau tau Cut Bang
Aku pada mu, bersama pancaran cinta Illahi

Hingga hilang

Bersamamu, hampir tak ada waktu yang tak haru
Bahkan butir air mata bisa jadi mutiara
Meski tak ku biarkan larut
Dalam dekapan dalam pelukan peraduan
Aku akan selalu datang
Selalu bersenda dengan malam

Tetaplah dibelakangku
Tetap cintai aku

Di ruang ruang hati yang sendu tetap ada bayanganmu

Rabu, 16 Oktober 2013

Belajar Melestarikan Hutan dari Kearifan Lokal Kampung Orang, Pakpak Bharat

Pakpak Bharat merupakan sebuah daerah yang mayoritas penduduk aslinya adalah masyrakat suku Pakpak. masyarakat suku Pakpak ini adalah satu dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia yang masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya serta adat istiadatnya. Hal ini menunjukkan bahwa, karakteristik budaya peninggalan leluhur masih tetap dipertahankan di dalam masyrakatnya meskipun hidup di tengah-tengah belenggu modernisasi.
Selain kaya akan budaya, masyarakat Pakpak Bharat juga kaya akan potensi sumber daya alamnya. Ini menjadi suatu nilai tambah guna membangun suatu kondisi social masyarakat yang lebih baik. Bila kita lihat dari sudut pandang sosio-kultural, relasi antara kondisi alam serta komponen budaya, maka sangat terlihat jelas hubungan antar keduanya.
Salah satu potensi yang dimiliki daerah tersebut terletak pada potensi sumber daya alam yaitu hutan. Hutan yang terletak di Pakpak Bharat terbentang luas di daerah tersebut dengan banyaknya tanaman-tanaman seperti pohon kemenyan, pohon pete, pohon durian, pohon kecing untuk papan dan lain sebagainya. Sehingga menjadikan masyarakat setempat selalu menjaga dan melestarikan kekayaan alam tersebut yang bertujuan untuk menambah daya tarik daerah tersebut.
Dalam menjaga kelestarian tersebut penduduk setempat mempercayai akan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka seperti upacara-upacara adat, kepercayaan akan hal-hal mistis, kepercayaan akan hal yang harus dan tidak boleh dilakukan terhadap hutan tersebut.
Perlindungan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan umumnya melalui seperangkat nilai budaya, pengetahuan aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan sejumlah perilaku budaya yang arif dalam pengolahan hutan yang dikenal dengan istilah kearifan lokal. Kearifan tradisional dapat berfungsi sebagai perlindungan hutan, seperti contoh pantang (tabu) untuk menebang pohon tertentu karena dianggap memiliki kekuatan gaib yang hidup dalam suatu masyarakat di daerah itu sendiri. Begitu juga halnya dengan masyarakat Pakpak Bharat, yang mana kearifan tradisional masyarakat Pakpak dalam mengelola hutan, khususnya hutan kemenyan yang memiliki nilai historis, ekonomis serta sosial budaya tersendiri bagi masyarakat Pakpak.
Pantang Larang Hutan adalah sebuah hal berupa larangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh masyarakat menyangkut pemanfaatan hutan. Pantang larang ini merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang ke generasi - generasi selanjutnya yang bertujuan untuk menghindari hal - hal yang dianggap akan berdampak tidak baik bagi kehidupan masyarakat setempat, yang masih memiliki kepercayaan dalam hal tersebut.
Alm. G.Lingga dalam wawancara Salmon Lingga (1983:15) memaparkan:
“Ada pengisi alam yang unik, dimana sebagian orang menganggap kekuatannya melebihi kekuatan manusia, dimana ia harus disembah dan diambil hatinya. Selain itu kejadian-kejadian alam seperti banjir, gempa, penyakit, dan sebagainya yang sangat membahayakan adalah perbuatan “oknum” tertentu yang mempunyai kekuatan (Magis). Sioknum tersebut menurut pemeluk kepercayaan sipelebegu mau datang kerumah dan mempunyai tubuh serta dapat berpindah-pindah. Ia juga berbentuk roh - jiwa tetapi tidak kelihatan dan mempunyai sahala”
            Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa hal – hal gaib dan mistik yang berkembang secara turun temurun menjadi hal yang mendasari adanya pantang larang yang berlaku dimasyarakat yang masih berlaku hingga saat ini. Pantangan larangan tersebut dalam aplikasinya di kehidupan social kultural masyarakat ini dilakukan sesuai dengan tatanan kehidupan social bagaimana seharusnya manusia memperlakukan lingkungan ekologisnya sesuai dengan nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat. sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dimasyarakat tersebut.
            Dalam hal pengendalian dan kontrol sosial budaya, pantangan dan larangan tersebut diatur di dalam sebuah  upacara tahunan yang disebut Mananda Tahunan. Upacara ini adalah sebuah upacara ritual yang diselenggarakan oleh masyarakat Pakpak di Sisada Rube kecamatan Pergentteng Gentteng Sengkut (PGGS) Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara. Upacara ini dilaksanakan setiap bulan Februari antara tanggal 1 sampai 10, menurut kepercayaan dan adat istiadat setempat, setelah tanggal tersebut upacara tidak dapat dilaksanakan lagi. Upacara ini diselenggarakan ketika menjelang musim bercocok tanam. Tujuan pelaksanaannya tidak hanya ditujukan kepada aspek bercocok tanam saja, namun upacara ini juga bertujuan untuk mengatur dan meramalkan segala aspek kehidupan untuk kesejahtera masyarakat setempat.
Selain didasarkan pada nilai – nilai warisan leluhur, sebenarnya masyarakat setempat juga mengetahui dampak terhadap eksploitasi hutan secara berlebihan menurut logika dan ilmu pengetahuan. Larangan dan pantangan yang berlaku menjadi kontrol tidak hanya dianggap sekedar warisan dari leluhur, tetapi juga menjadi control dalam hal penjagaan hutan dari segi ilmu pengetahuan. Misalnya, masyarakat mempunyai kesadaran menjaga hutan karena hutan merupakan sumber air dan air merupakan sumber kehidupan. Selain itu, masyarakat juga mengerti bahwa membakar hutan tanpa pengawasan yang benar akan berdampak pada polusi yang nantinya juga akan dirasakan oleh masyarakat. Hal tersebut berdampak sangat relevan terhadap kehidupan social masyarakat setempat. Pantang larang tersebut benar – benar dipatuhi dan dijalani oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pantangan dan larangan yang telah diatur sesuai dengan adat istiadat yang berlaku sebenarnya dilakukan bukan untuk membatasi kegiatan agraris masyarakat setempat. Tetapi pantang larang ini dilakukan dengan tujuan menghormati leluhur yang telah mewarisi alam secara turun – temurun.
            Dampak positif secara nyata dirasakan oleh masyarakat yang mematuhi pantang larang tersebut, contohnya lahan yang telah dibuka dan difungsikan secara produktif akan menghasilkan hasil alam yang melimpah. Dan hasil alam tersebut dapat menunjang perekonomian masyarakat.
            Kemudian, dampak positif lainnya adalah alam sekitar pembukaan lahan tetap terjaga kelestariannya. Sehingga tidak terjadi eksploitasi lahan hutan secara berlebihan. Oleh karena itu, pantang larang terhadap hutan yang berlaku dimasyarakat Pakpak Bharat khususnya masyarakat Kucupak sangat berdampak bagi keberlangsungan kelestarian hutan di daerah tersebut.
            Salah satu ketentuan yang diatur dalam upacara tersebut adalah tata cara membukaan lahan (menoto = meminta izin) pembukaan lahan. Dalam ritual di tetapkan bahwa kegiatan menoto tersebut dapat dilakukan pada bulan April. Kegiatan yang dilakukan adalah membersihkan lahan yang akan digunakan. Kemudian pada bulan Juni, kegiatan dilanjutkan dengan pembakaran lahan. Barulah kemudian lahan tersebut dapat digunakan dan lahan yang telah dibuka tersebut harus difungsikan secara produktif. Ritual tersebut dilakukan dengan tujuan memperoleh izin dan “keberkahan” dari Yang Maha Kuasa.
Secara umum, letak geografis kabupaten Pakpak Bharat memang terletak di wilayah pegunungan. Namun, untuk upacara menahun tidak dilaksanakan oleh semua kecamatan dikabupaten tersebut. Hanya di Sisada Rube yang merupakan wilayah konsentrasi pemukiman masyarakat kecupak dan Simapera yang menjadi satu – satunya lokasi pelaksanaan Upacara Menahun.
            Upacara menahun ini hanya boleh dilaksanakan oleh marga Manik yang memang secara historis menjadi marga pertama yang tiba di daerah tersebut. Nenek moyang marga Maniklah yang pertama kali melakukan ritual tersebut. Marga Manik dan keturunannya dianggap memiliki aura dan kekuatan magis khusus untuk melakukan ritual tersebut. Oleh sebab itulah hanya keturunan Marga Manik yang boleh menjadi pelaksana upacara manahun tersebut. Sedangkan warga dari marga lainnya hanya boleh menjadi peserta dan juga berkewajiban melaksanakan serta mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam upacara tersebut.
            Pada dasarnya, tidak seluruh masyarakat di kucupak dan sekitarnya mengerti dan paham akan tradisi upacara menahun. Namun, mereka tetap mengikuti upacara tersebut tanpa paksaan. Masyarakat mengikuti ritual lebih karena kesadaran akan budaya leluhur yang harus dilestarikan. Selain itu, meskipun tidak mengikuti ritual, masyarakat tetap akan mematuhi peraturan yang telah di tetapkan dalam ritual. Masyarakat tetap akan melakukan kegiatan sehari – hari sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
            Secara umum, 80 persen masyarakat kucupak dan sekitarnya mempercayai dampak yang akan ditimbulkan oleh pelaksanaan ritual. Sehingga, sangat jarang terjadi pelanggaran dan sangat jarang ada masyarakat yang melanggar pantangan – pantangan yang telah ditetapkan.
            Jikapun ada yang melanggar, pemangku adat akan memberikan sanksi tegas sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, jika yang dilanggar hanya pelanggaran – pelanggaran kecil, si pelanggar hanya diberikan sanksi berupa teguran dari pemangku adat dan juga mendapatkan perlakuan pengucilan dari masyarakat. Namun, jika pelanggaran yang dilakukan merupakan pelanggaran berat dan berdampak besar bagi masyarakat sekitar, si pelanggar tersebut harus disidang dan dihukum sesuai dengan kesalahannya. Contoh hukuman yang paling umum adalah si pelanggar harus menjamu warga (melaksanakan acara makan bersama) dengan mengundang seluruh warga termasuk 6 kuta 1 rube yang juga mengikuti ritual upacara manahun.
Masyarakat Pakpak Bharat yang tinggal di Sisadu Rube Kecamatan Pakpak Bharat, Sumatera Utara merupakan salah satu masyarakat yang masih sangat menghargai dan masih benar – benar melaksanakan setiap kegiatan social masyarakat berdasarkan tatanan hukum adat yang berlaku.
Masyarakat masih percaya bahwa setiap kegiatan social masyarakat harus didahului dengan suatu kegiatan tertentu berupa ritual. Untuk masyarakat Pakpak di Sisada Rube sendiri, ritual yang dilaksanakan adalah Mananda tahun yang rutin dilaksanakan setahun sekali dalam rangka pembukaan lading, karena itu selalu dilaksanakan menjelang musim tanam dengan maksud agar tidak menyalahi apa yang dipercayai sebagai ketentuan – ketentuan dari leluhur dan hal – hal gaib bagi kelestarian ekosistem. Dengan demikian usaha perladangan akan memperoleh “keberkahan” dari Yang Maha Kuasa.
Aturan – aturan yang telah ditetapkan pada upacara menahun tersebut ternyata berdampak sangat signifikan bagi kehidupan masyarakat. Dengan adanya pantang larang yang telah ditetapkan tersebut, menjadi control bagi masyarakat untuk tidak membuka lahan, membakar atau menebang hutan secara sembarangan. Masyarakat juga lebih berhati – hati dalam bertindak terhadap alam, dan masyarakat menjadi lebih mengerti hak dan tanggung jawabnya terhadap hutan.
Mungkin secara umum, masyarakat Aceh sendiri tidak mungkin menerapkan hal demikian dalam hal ritual pelestarian hutan. Namun ada kearifan lokal tersendiri yang juga dimiliki oleh masyarakat Aceh yang juga dapat digunakan sebagai kontrol sosial dalam pelestarian hutan. Kembali kepada nilai - nilai spiritual bahwa hutan, dan seluruh alam semesta adalah nikmat Allah swt yang ditipkan kepada kita, untuk dijaga, agar kelak anak cucu dan generasi setelah kita mampu merasakan nikmat yang sama seperti kita, demikian seterusnya.


Selasa, 08 Oktober 2013

Peusedoe Kebudayaan Aceh

oleh Herman RN
MUNGKIN orang Aceh patut bangga dan salut atas kabar segera terselenggaranya Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI. Seperti mimpi PKA-PKA sebelumnya, tentu saja PKA VI diharapkan mampu memberikan kebanggan hasanah bahwa Aceh kaya budaya dan kesenian.
PKA sebagai helatan akbar atas nama kebudayaan Aceh tentu saja tak lepas dari kesenian tradisional yang ada di seluruh Aceh, dengan tidak menafikan kesenian modern dan kontemporer. Kebudayaan dan kesenian tradisional Aceh “wajib” hadir dalam ajang PKA sebagai suatu wujud pelestarian pada kesenian warisan turun temurun. Adapun kesenian modern dapat muncul dalam PKA sebagai sisipan untuk menunjukkan bahwa Aceh tidak ekslusif terhadap sesuatu yang modern. Namun, mesti dicermati, setiap kesenian tersebut mesti sudah sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat Aceh?
Ajang PKA diharapkan mampu menjadi wahana pengenalan dan pelestarian kesenian tradisional Aceh, seni tari, seni tutur, hingga ke permainan tradisional. Semua itu harus muncul dalam Pekan Kebudayaan Aceh. Apalagi, kesenian yang keberedaannya nyaris hilang. Dalam PKA, hal itu harus dibangkitkan kembali.
Bicara kesenian tradisional Aceh, bearti seluruh kesenian yang hidup di tanoh Aceh, mulai pesisir, kepaulaun, hingga di pegunungan. PKA mestinya mengutamakan seni-seni dari daerah, yang jarang tampil ke permukaan. Harus diingat bahwa even ini bernama Pekan Kebudayaan Aceh, bukan Pekan Kebudayaan Khusus Etnis Aceh.
Hal sederhana ini penting dicermati, karena suasana Aceh akhir-akhir ini terlalu hot dengan isu etnis. Beberapa etnis di Aceh mulai merasa ‘dianaktirikan’ oleh Pemerintah Aceh. PKA jangan sampai malah memperkeruh susana dengan menafikan beberapa kesenian tradisinal daerah tertentu. Sudah semestinya, PKA menjadi ajang pemersatu beragam suku dan etnis di seluruh Aceh. Ibarat kata bijak dari Barat, Jika politik itu bengkok, maka seni yang meluruskannya.
Singkatnya, seluruh kabupaten/kota mesti terlibat dalam ajang PKA. Apabila ada satu atau dua daerah yang belum siap atau kesiapan mereka belum matang, baiknya PKA ditunda dahulu. Tak baik tergesa-gesa dalam menyelenggarakan even besar atas nama kebudayaan bersama. Sesuatu yang dipaksakan kejar tayang dikhawatirkan hasilnya asal tayang pula. Tak dapat dikatakan berhasil bilamana PKA tahun ini hanya ‘yang penting terlaksana’ tanpa indikator keberhasilan dan output yang diperoleh daerah. Jangan sampai seperti kata indatu, buet walanca-walancé, awai pubuet dudoe piké.
Adalah benar bahwa PKA ajang empat tahunan. Namun, jika persiapan belum matang, hendaknya PKA VI ini tidak dipaksakan hanya karena sudah tiba empat tahun dari tenggat PKA V. Bicara persiapan, bukan sekadar rencana di atas kertas atau Term of Reference (ToR) semata. Bicara persiapan bukan sekadar membual di media massa bahwa PKA VI akan ada ini, akan begini, akan dibuka oleh presiden, dan sebagainya. Bicara soal persiapan adalah sebuah kesiapan yang mestinya sudah tampak sejak sekarang, mulai dari provinsi sampai ke seluruh kabupaten/kota.
Nyatanya, PKA VI tinggal menghitung hari, umbul-umbul saja belum terpajang. Entah bagaimana pula soal rehab-rekon anjungan setiap kabupaten/ kota di Taman Ratu Safiatuddin. Pun beberapa lokasi yang disebutkan menjadi tempat perhelatan PKA VI, belum ada tanda-tanda di sana akan digelar even ini. Bahwa di Banda Aceh segera ada perhelatan akbar atas nama kebudayaan hanya ditandai beberapa spanduk di tepi jalan raya.
Lain lagi soal di daerah, beberapa kabupaten/kota bahkan terkesan masih bingung harus membawa apa ke PKA VI. Pada sebuah media online terbaca, ada bupati suatu daerah yang mengatakan mereka akan turut dalam PKA VI nanti alakadar saja, karena minim persiapan. Ada pula bupati daerah lain yang baru duduk bersama tokoh-tokoh masyarakatnya untuk membicarakan persiapan ke PKA VI.
Semua ini sebenarnya merupakan persoalan penting yang harus dipertimbangkan oleh panitia pelaksana. Ada apa di balik semua ini? Apakah sosialisasi PKA VI terlambat sampai ke kabupaten/kota? Atau ada alasan lain semisal kabupaten tertentu baru selesai pemilihan kepala daerah sehingga belum siap betul menuju PKA. Ada pula kabupaten yang baru saja terkena bencana alam. Semua ini sebenarnya menjadi alasan bahwa PKA VI belum siap untuk dilaksanakan tahun ini, apalagi harus September ini.
Alasan penundaan PKA VI jangan hanya karena penyesuaian dengan jadwal presiden. Hanya karena presiden hendak ke Aceh melantik Wali Nanggroe, PKA kemudian ‘mencuri momen’ tersebut. Cobalah utamakan persiapan 23 kabupaten/kota. Tak perlu malu menunda PKA VI demi hasil yang lebih gemilang. PKA-PKA sebelumnya juga tak sesuai target jadwalnya. Rentang PKA I ke PKA II sampai 14 tahun. PKA II ke PKA III mencapai 16 tahun. Setelah 16 tahun pula baru terlaksana PKA IV. PKA V baru terlaksana lima tahun kemudian. Dari lima PKA yang sudah, boleh dikatakan pelaksanaan PKA V tidak sesiap PKA sebelumnya. Tentu saja tak satu pun ureueng Aceh berkeinginan PKA VI nanti lebih buruk pula daripada PKA V.

Konten PKA
Selain kesiapan tempat, promosi, dan sejenisnya, harus dicermati pula konten (isi) PKA. Sebagai sebuah pekan kebudayaan, sekali lagi, mesti diutamakan kebudayaan atau kesenian tradisional, dengan tanpa menafikan kesenian modern yang berterima bagi masyarakat Aceh. Ada banyak kesenian tradisional daerah Aceh yang nyaris ‘punah’. Harusnya, yang seperti itulah dimunculkan kembali.
Katakanlah seni tutur atau sastra lisan. Perlu diingat, dalam hal kesenian, dunia mengenal Aceh di antaranya karena sastra lisan. Aceh kaya hasanah sastra lisan, sebut saja antara lain peuayôn aneuk, diké, dalaé, meurukôn/meudrah, nazam, hikayat, meunaséb, dan sejenisnya. Masing-masing daerah punya khas tersendiri dalam menyampaikan seni tuturnya, dengan nama tersendiri pula. Misal saja untuk meunaséb, bagi orang Gayo ada bersebuku, bagi suku Aneuk Jamee ada maratok. Demikian halnya hikayat, nyaris semua daerah di Aceh punya cara tersendiri dalam menyampaikan seni tutur jenis ini. Di Gayo dengan kekeberen, di Simeulue dengan nandong, di Singkil dengan bakaba, dan seterusnya.
Perlu diingat pula bahwa dalam kearifan Aceh saat intat lintô ada tradisi mubalah pantôn. Kebudayaan satu ini juga nyaris punah. Padahal, hampir semua daerah di Aceh dulunya memiliki tradisi ini. Dalam masyarakat minoritas Kluet pun ada seni peukateun ini, mereka menyebutnya meukato dan meubobo.
            Kesenian-kesenian seperti inilah yang mestinya diutamakan dalam pesta kebudayaan bergelar PKA. Adapun kesenian modern disisipi saja. Bukan malah sebaliknya, kesenian modern yang diutamakan, beberapa kesenian tradisi hanya sebagai sisipan belaka. Begitulah yang terlihat dari promosi PKA VI di media massa. Tak muncul sastra lisan yang tradisional Aceh di PKA VI, tetapi ada sayembara paduan suara. Saya tidak tahu, apakah paduan suara yang seperti nyanyian gereja itu disebut sebagai seni tradisional Aceh? Lalu, untuk menutupi kedok tersebut, pembacaan hikayat hanya diletakkan sebagai eksebisi semata?
Maaf, bukan bearti saya tidak setuju dengan seni paduan suara. Hanya saja, bicara PKA, sekali lagi, hendaknya diutamakan kesenian tradisi, yang sudah hidup dalam masyarakat Aceh secara turun temurun. Jika tidak, PKA sama saja dengan even-even kesenian yang diselenggarakan sanggar atau komunitas tingkat kampus, yang berkutat pada tari, band, teater konvensional, dan nyanyi-nyanyian. Jika begitu, bukankah PKA dapat diartikan sebagai Peusedoe Kebudayaan Aceh? Homhai…

Herman RN, cerpenis dan peminat seni tradisi.

Kamis, 26 September 2013

Ketika Merindu

Tahun berlalu begitu saja, terlalu cepat
"padahal baru beberapa jam yang lalu aku menghela nafas bersamamu"

kemudian aroma kegelisahan diam-diam mendekat
ada sepenggal angin yang enggan membawa ini pergi
mungkin terlalu berat
karna membuncah luar biasa

"semacam merindumu sangat"

karena ada hati yang kau tinggalkan didalam sini
hidup bersama hidup yg tak pernah mati

Selasa, 24 September 2013

Puteri Bersenandung

Menyanyikan kalimat lirih diantara bising yang semeraut
Puteri bersenandung
Bersama burung dan desah angin yang tidak lagi sepoi
Bersama ombak yang menari diantara buih
Puteri bersenandung
Melantunkan ayat ayat diantara riuh hiruk pikuk
Puteri bersenandung
Ternyata kearifan tanah kelahirannya tidak lagi sama

Jumat, 21 Juni 2013

Sejarah Tun Sri Lanang, Permata Melayu di Negeri Aceh

Tun Sri Lanang merupakan seorang sastrawan Melayu. Ia dikenal sebagai penyunting dan penyusun Sulalatus Salatin. Tun Sri Lanang merupakan gelaran, dan nama sebenarnya adalah Tun Muhammad, pada waktu penyusunan Sulalatus Salatin ia telah berkedudukan sebagai Bendahara pada Kesultanan Johor.
Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah oleh Portugis, seperti Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis-pun berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti.
Perkembangan ini sangat menggundahkan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan ini didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan dan para pencari suaka dari Melaka yang sekarang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun 1521, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.
Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip "Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam" oleh karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik luar negeri, militer yang tangguh ekonomi yang handal dan pengaturan hukum/ketatanegaraan yang teratur.Dengan strategi inilah menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi Negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan politik global sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri negeri Islam di Nusantara yang telah didudukinya.
Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan oleh Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya seperti Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang ada di nusantara maupun di dunia internasional lainnya, misalnya Turki, India, Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam kelompok "lima besar Islam" Negara-Negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri non-muslimpun dibina sepanjang tidak mengganggu dan tidak bertentangan dengan asas-asas kerajaan.
Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan Terengganu. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, Deli.
W. Linehan, mengatakan "the whole territory of Acheh was almost depopulated by war. The king endeavoured to repeople the country by his conquests. Having ravaged the kingdoms of Johore, Pahang, Kedah, Perak and Deli, he transported the inhabitants from those place to Acheh to the number of twenty-two thousand person".Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Pada tahun 1613, Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor seluruh penduduknya termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Protroe Phang), dan Bendaharanya (Perdana Menteri) Tun Muhammad, lebih dikenal dengan nama samarannya "Tun Sri Lanang" dipindahkan ke Aceh dan dijadikan raja pertama Samalanga (1615-1659). Tun Sri Lanang inilah yang akan penulis diskusikan pada hari ini didasarkan pada:

  • Tiga Sultan kerajaan negeri di Malaysia yaitu Johor, Pahang dan Terengganu adalah keturunan Tun Sri Lanang.
  • Pemerintah Malaysia telah menetapkan Tun Sri Lanang sebagai pujangga agung bersama Abdullah Munsyi. Bahkan pemerintah Malaysia menempatkan nama Tun Sri Lanang pada jalan-jalan utama dan gedung-gedung pertemuan baik di kalangan akademik maupun tempat pertemuan lainnya.
  • Karya Tun Sri Lanang "Sulalatus Salatin" telah menjadi rujukan apabila ingin menuliskan Sejarah Melayu Modern.
  • Sedikit sekali masyarakat Aceh yang pernah mendengar nama Tun Sri Lanang apalagi mempelajari kisah hidupnya padahal beliau menghabiskan masa akhir hidupnya di Aceh dan menjadi Ampon syik pertama Samalanga serta dimakamkan di sebuah desa kecil lancok kecamatan Samalanga. Tun Sri Lanang ini bisa dijadikan perekat hubungan antara Aceh dengan Malaysia.

Pemerintahan Kerajaan Islam Aceh Darussalam menerapkan pendekatan lunak maupun tegas untuk menjaga keutuhan wilayahnya, dari ancaman disintegrasi bangsa baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Strategi lunak yaitu "politik meubisan" dan "rotasi pimpinan daerah taklukan Aceh". Kalau jalan ini tidak berhasil Sultan akan mengerahkan angkatan perangnya menundukkan daerah taklukannya yang melawan terhadap kebijakan pusat.
Politik meubisan ini seperti pernah dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda dengan mengawinkan adiknya dengan Sultan Abdullah Ma'ayat Shah. Kemudian Sultan Murka karena adik yang dicintainya diceraikan oleh Sultan Abdullah. Iskandar Muda memerintahkan pasukannya untuk membumi hanguskan Batu Sawar, ibukota Kerajaan Johor Lama pada tahun 1623. Abdullah-pun mangkat dalam pelarian di Pulau Tembelan.
Politik meubisan berhasil juga menundukkan Perak dan Pahang. Setelah pembesar-pembesar pahang mengetahui anak negerinya Raja Mughal anak Sultan Ahmad dinobatkan sebagai sultan Kerajaan Islam Aceh Darussalam menggantikan Iskandar Muda pada tahun 1637 M, Adik Sultan Iskandar Tsani, Raja Sulong menjadi Sultan Perak ke-10 dengan gelar Sultan Muzaffar Shah II maka rakyat ke dua negeri langsung melakukan ikrar kesetiaan mendukung keutuhan Kerajaan Islam Aceh Darussalam.
Tun Seri Lanang atas saran Putri Kamaliah, Sultan Iskandar Muda menjadikannya raja pertama ke Samalanga. Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat.
Penobatan Tun Sri Lanang menjadi raja Samalanga mendapat dukungan rakyat, karena di samping beliau ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama, Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan ini akan membantu pengembangan Islam di pesisir timur Aceh. Penentangan yustru muncul dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei yang menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga.
Alkisah menurut penuturan orang orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan 11 orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka negeri Samalanga, bermusyawarahlah mareka siapa yang berhak menjadi raja pertama. Di antara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya, terjadi pergaduhan dan atas saran masyarakat agar ke 12 orang panitia ini menghadap sultan Iskandar Muda, biarlah sultan yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam ini.
Sayup-sayup Puteri Pahang pun mengetahui rencana pertemuan 12 tokoh masyarakat yang akan menghadap sultan. Ia menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara bergelar Tun Sri Lanang yang tiada lain adalah saudaranya sendiri. Siasat diatur cara ditempuh, Tun Seri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, berpura puralah ia sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat bintang. Rencana Putri Pahang Tun Sri Lanang harus duluan tiba di Samalanga dan ke 12 tokoh masyarakat ini diusahakan menggunakan jasa beliau untuk berlayar ke kuala Aceh menghadap Baginda.
Pada hari yang telah disepakati bersama, berangkatlah 12 orang panitia menghadap tuanku sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke 12 orang ini mengatur sembah sujud kehadapan baginda dan mengutarakan maksud dan tujuan menghadap Daulat Tuanku Meukuta Alam. Mareka meminta kepada tuanku agar salah satu dari mareka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga. Sultan setelah meminta pendapat orang orang besar kerajaan dan Puteri Pahang setuju menobatkan salah satu dari mareka menjadi raja pertama asal cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok untuk jari kelingking mareka.
Setelah dicoba satu persatu, cincin kerajaan ini terlalu besar untuk dipakai pada 12 orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mareka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung istana? Mareka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Seri Lanangpun dihadapkan kehadapan Sultan, cincin kerajaan sangat cocok untuk jari kelingkingnya.
Iskandar Muda menobatkan Tun Seri Lanang menjadi raja pertama Samalanga. Sewaktu mareka pulang Tun Seri Lanang dibuang di tengah laut di kawasan laweung kejadian ini dikenal dalam masyarakat Samalanga Peristiwa Laut. Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung) menyelamatkannya dan bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Baginda dan memberitahukan penemuan Tun Seri Lanang di Tengah Laut. Baginda Murka dan memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Seri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan 11 orang panitia persiapan keuleebalangan dihukum pancung oleh sultan.
Tun Sri Lanang menjadi uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M dan mangkat di Lancok Samalanga. Pada masa pemerintahannya berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan timur Aceh, dan tradisi ini terus berlanjut sampai dengan saat ini. Beberapa mesjid di sana di bangun pada zamannya seperti Mesjid Matang wakeuh, tanjungan.
Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) di sana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang Riau, Lingga (1688-1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Trenggano, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.



Abaikan abaikan abaikan

Sudah sejauh ini dan aku masih diragukan
Sudah selama ini dan aku masih dianggap anak bawang
Haaaa haruskah aku jungkir balik sambil bilang wow keliling kampus ?
Oh mungkin aku tidak terlihat

Saat aku terlalu gemuk
Saat aku terlalu pucat
Saat tekanan darah terlalu rendah
Saat hemoglobin terlalu sedikit
Abaikan

Aku 21 tahun
Bukan 20 tahun
Abaikan

Tidak ada kue ulang tahun
Tidak ada kado
Abaikan

Nanti jika waktunya sudah tiba
Abaikan

Jumat, 31 Mei 2013

Kita Telah Meletakkan Perasaan Tidak Pada Tempatnya

Hmm, atau mungkin hanya aku yang menyalah artikannya. Aku bahkan lupa hari itu tanggal berapa, tapi aku ingat pagi itu masih sehangat biasanya. Saat jauh sebelum aku mengerti entah apa yang akan terjadi selanjutnya. koreksi aku jika yang kusebut tadi salah.
Aku terlalu mengagumi mu sebagai laki laki. Tentangmu, segalanya, seperti apa yang selama ini tercipta dipikiranku bahwa seperti itulah apa yang aku inginkan tentang laki laki. bahkan harum tubuhmu, yang masih aku ingat, jelas sampai saat ini, jelas adalah laki laki.
Pernah merasakan lengan kokoh memelukmu seakan dunia melindungimu bahkan bahaya sebesar cakrawalpun tak mampu jangkau kehidupanmu? ya, aku merasakannya saat lengan itu dengan lembut mendekapku. Aku larut, tenggelam didalamnya. aku memang tak pernah merasakan yang lebih baik lagi sebelumnya.
Nafas itu seakan sehangat pagi, ada sejuk embun yang sesekali meraba wajah yang masih takut. siapa yang berani dengan mu yang samasekali baru aku temui sekali?
Dan kisah kita dimulai
Mungkin bukan yang pertama untukmu, tapi jelas untukku
Aku hanyalah seorang perempuan bersajak yang sesekali sering salah menempatkan perasaan, bukan salahmu, kau sudah mengingatkan.

Aku lupa apa selanjutnya, yang aku ingat hancur di mulai saat aku pergi dan kita selesai. selesai sementara kurasa, tapi aku masih hancur. meski mengiyakan, aku sadar, aku sudah salah menempatkan perasaan.
seperti yang sudah aku katakan barusan, aku hanyalah seorang wanita bersajak yang sesekali salah menempatkan perasaan, dan ternyata terlalu cepat untuk hal itu dibuktikan, ah sudahlah.

---

Suatu hari mungkin kamu akan mengerti rasanya merindu,
Bukan untuk menyumpahi segala yang salah, hah? siapa yang salah
Keadaan. Karena telah dengan senang hati mempertemukan kita
Suatu hari mungkin kamu akan mengerti rasanya di abaikan,
Sudah sering mungkin, bukan denganku, dengan orang lain yang lebih diharapkan
Kita bahkan tidak mengerti ini tentang apa
Seberapa jauh ini dijalani, bukan, bukan tentang itu. ini tentang apa yang telah kita lalui, meski singkat, meski tak sempat aku kisahkan

Masih saja
Suatu hari mungkin aku akan mengerti rasanya menyia nyiakan, seperti aku menyia nyiakanmu

Jumat, 26 April 2013

Saat merindumu rasanya tak lagi sama

Masih ingat ombak biru semilir yg menari  bersenandung dihadapan kita? Minggu yg lalu, saat keadaan memaksa kita untuk bersama
Ketika matahari terik tak halangi tawa kita kemudian berganti hening yang tak kunjung ubah alasan kita

Saat merindumu rasanya tak lagi sama

Hati ini sedang menahan gejolak agar tak berlebihan tentangmu
Sedang menahan apapun yang dapat mempengaruhi ku terhadapmu
Jiwa ini terlalu kalut jika harus jatuh dan larut diduniamu

Ah, aku masih saja menyelipkan nama mu disetiap doa

Rabu, 02 Januari 2013

Hujan

With every appearance by you, blinding my eyes,
I can hardly remember the last time I felt like I do.
You’re an angel disguised.


Diluar hujan sejak tadi pagi, kemudian muncul matahari malu malu dari balik awan mengepul, kemudian hujan lagi. Semoga muncul pelangi. Tubuh ringkih itu baru saja terbangun tadi tidur panjang sejak dini hari tadi, menghabiskan waktu berguling dipasir yang basah. oh iya, sejak malam hujan.
Bukan karena tua, hanya saja dia malas makan sehingga terlalu kurus untuk ukuran orang yang sehat. Ayo bercerita tentang kisah yang sudah lama tersimpan, sudah waktunya tau.

And you’re lying real still,
But your heart beat is fast just like mine.
And the movie’s long over,
That’s three that have passed, one more’s fine.


Kita mulai dari mana? Dari sebuah pertemuan singkat sekali tatap yang kemudian berlanjut dari saling bertegur sapa tidak penting. Sebenarnya itu penting, taukah? Penting, buktinya kita masih tetap bersama meski tak punya alasan apa apa. aku bisa merasakan detak jantungmu dari sini. Sebegitukahnya? Iya, kau percaya?

Will you stay awake for me?
I don’t wanna miss anything
I don’t wanna miss anything
I will share the air I breathe,
I’ll give you my heart on a string,
I just don’t wanna miss anything.


Akhir akhir ini kita menjauh ya? Sengaja? sepertinya iya, ada sebuah titik dimana kita sama sama jenuh dengan hubungan yang tak pernah ada jawaban. Aku mencoba menjadikan itu masuk akal. ternyata tidak bisa, ya tidaklah. ini sudah terlalu rumit sejak awal. Rasanya ingin mengulang sejak awal dan membuat segalanya menjadi baik baik saja. Aku terbiasa mencintai kehidupanmu. Hhmmm
Ini seperti pengakuan panjang yang tidak berujung. Bukan, ini adalah cerita yang sengaja diciptakan karna tidak mungkin kita bersenda secara lisan.

I’m trying real hard not to shake. I’m biting my tongue,
But I’m feeling alive and with every breathe that I take,
I feel like I’ve won. You’re my key to survival.


Diluar masih saja hujan, bahkan sesaat yang lalu kilat dan petir menyambar. aku tidak takut, tidak sama sekali, karena setiap suara itu seperti hilang sejenak saat aku mulai membayangkan saat saat sulit yang kita hadapi bersama. Ayo kita menghela nafas panjang, menggigit bibir, dan kemudian berteriak melepaskan keluh kesah yang sejak lama telah kita pendam.

And if it’s a hero you want,
I can save you. Just stay here.
Your whispers are priceless.
Your breathe, it is dear. So please stay near.


Nyanyikan lagi untukku lagu itu sekali lagi. Aku menyukainya meski itu bukan ciptaanmu. Aku mencintainya, bukan, aku mencintaimu, lebih dari aku mencintai senandung itu. Seperti sedang mengukir ya, sulit, tapi menyenangkan.
masih saja hujan, kapan ya berhentinya, mungkin sesaat lagi, setelah aku selesai menulis ini. karna ini tak hanya menguras tenaga. jangan remehkan, karena ini bukan sekedar perasaan, ini tentang sebuah prosa tanpa makna yang berusaha aku tuliskan agar setidaknya kau tau. Bukankah kita tak lagi bertegur sapa?

That you’ll stay awake for me.
I don’t wanna miss anything.
I don’t wanna miss anything.
I will share the air I breathe,
I’ll give you my heart on a string,
I just don’t wanna miss anything.......

Selasa, 01 Januari 2013

Cerita tentang. Kita !

Setidaknya kita pernah bersenandung bersama
Dibawah kaki langit
Diantara angin dan lampu lampu yang enggan bersinar
Setidaknya kita pernah saling merindukan
Meski selalu berada didalam dimensi yang sama
Terkadang bersembunyi dibalik senyum yangtak bermakna
Kita
Yang enggan bercerita karena tak pernah punya kisah yang sama
Kita
Yang berusaha menjadi apapun ingin salah satu diantara. Kita
Adalah sebuah kewajiban rumit yang sengaja tercipta
Sebuah prasasti yang terukir dimakan masa
Aku dan Kamu
Yang kemudian menjadi. Kita

ini tahun yang baru

Kita pernah melukis di sebuah kanvas ditahun yang telah berlalu
Bercerita tentang kisah masa depan di dalam buku antalogi yang sama
Kita pernah bernyanyi dipanggung yang kita ciptakan berdua
Tahun yang lalu...

Seperti langit sore biasanya
Kita tidak akan pernah bertegur sapa meski selalu berada di dalam ruang waktu yang didalamnya hanya ada kita
Itu adalah sebuah kotak kosong hitam yang tak segaja tercipta keadaan
Tahun yang lalu...

Bagaimana keadaanmu tahun ini?
Adakah masih menggambar masa depan di kanvas yang sama?
Apakah masih bernyanyi dipanggung yang sama?
Masihkah tinggal didalam kotak biasanya?

Aku masih
Tahun yang lalu...