Oleh Nazamuddin
PEMIMPIN Aceh boleh silih berganti, tapi ekonomi Aceh sudah sampai di
mana? Kemanakah ekonomi Aceh akan menuju. Apa rancangan strategis yang
sudah dipikirkan, sehingga pembangunan ekonomi Aceh tidak terperangkap
dalam pandangan myopik, perencanaan sepotong-sepotong dan pada akhirnya
tidak sampai ke mana-mana.
Rekonstruksi ekonomi Aceh pascabencana
tsunami 2004 telah berhasil meletakkan landasan penting untuk
kelangsungan pembangunan ekonomi jangka panjang. Ini dimungkinkan dengan
mengalirnya dana dalam jumlah yang substansial ke dalam perekonomian
Aceh, baik dalam bentuk bantuan kemanusiaan maupun bantuan yang sifatnya
lebih strategis seperti program-program pemberdayaan ekonomi melalui
fasilitas pembiayaan pembangunan ekonomi (EDFF) oleh Multi Donor Fund
(MDF) dan lembaga-lembaga donor lain. Pemerintah Aceh sendiri melalui
dana otonomi khusus telah membangunan infrastruktur yang semakin baik.
Perbaikan
infrastruktur pascarekonstruksi terjadi di banyak tempat,
bangunan-bangunan perkantoran modern dan bisnis tampak di banyak sudut
kota. Konsumsi masyarakat meningkat. Seperti yang dilaporkan laporan
analisa Bappeda dan Bank Dunia, tampak ada kecenderungan meningkat dalam
persentase pengeluaran konsumsi dalam PDRB Aceh. Bahkan pada 2010
pengeluaran konsumsi mencapai 60%, sehingga pengeluaran konsumsi menjadi
motor penggerak ekonomi melalui naiknya permintaan agregat. Sekaligus
ini indikasi meningkatnya taraf kehidupan masyarakat secara rata-rata.
Pascarekonstruksi,
tidak saja pencaharian penduduk Aceh bangkit kembali, melainkan juga
kemarakan kehidupan ekonomi tampak di mana-mana, terlebih di wilayah
perkotaan. Suasana damai memberi kontribusi besar dalam hal ini. Kini
pertanyaan berikutnya muncul, apakah momentum ini dapat dipertahankan
dan apakah pertumbuhan dapat dipacu lebih besar lagi? Triliunan rupiah
telah dicurahkan ke dalam perekonomian Aceh baik oleh pemerintah
Indonesia sendiri maupun oleh negara-negara donor sejak 2005 hingga
sekarang. Dampak penting dari capital inflow tersebut adalah
meningkatnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya angka kemiskinan dan
pengangguran.
Pertumbuhan ekonomiPertumbuhan ekonomi
Aceh mencapai puncaknya pada 2006-2007, kemudian turun pada 2008 tapi
menanjak kembali setelah itu. Beberapa tahun terakhir pertumbuhan
ekonomi telah melampau 5% per tahun. Sekarang pertanyaannya adalah
bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi. Pendapatan
per kapita juga masih relatif rendah. Pendapatan per kapita yang diukur
dengan PDRB nonmigas per penduduk masih berada pada kisaran Rp 6,4 juta
pada 2010. Kendati angka ini meningkat dari tahun ke tahun, tapi
pertumbuhannya lamban. Ini berkaitan langsung dengan produktivitas
masyarakat.
Karena itu pengurangan angka kemiskinan belum dapat
diraih secara signifikan. Masih diperlukan upaya besar dan tepat sasaran
dalam pertumbuhan ekonomi sehingga produktivitas riil masyarakat
benar-benar meningkat dan taraf hidup membaik. Memang Aceh selama
beberapa tahun terakhir terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang
positif. Namun sektor-sektor ini adalah sektor derivatif. Sektor riil
sendiri, khususnya pertanian, hanya tumbuh 5 persen, suatu angka
pertumbuhan yang belum cukup untuk mengurangi kemiskinan dan
pengangguran secara lebih drastis.
Persentase penduduk miskin
(penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan) di Aceh hingga akhir
2011 masih sekitar 19 persen. Kendati angka kemiskinan terus menurun
dari tahun ke tahun, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan angka
kemiskinan rata-rata Indonesia sekitar 17 persen. Namun, Indeks
Kedalaman Kemiskinan memperlihatkan bahwa ketimpangan pengeluaran
antarpenduduk miskin sendiri semakin menyempit. Angka kemiskinan telah
turun dari 28,28% pada tahun 2006 menjadi hanya 19,5% pada akhir 2011.
Namun
demikian, persentase penduduk miskin Aceh masih relatif tinggi
dibandingkan dengan Sumatera Utara 11,31 % atau Indonesia 13,33%. Angka
pengangguran telah turun menjadi hanya sekitar 7% pada 2011. Tapi
penting diingat bahwa tingkat pengangguran tertinggi di Aceh terdiri
dari penduduk yang menyelesaikan pendidikan menengah atas (SLTA). Hal
ini dapat terjadi karena kebanyakan dari mereka adalah lulusan sekolah
menengah yang tidak memiliki keterampilan untuk memasuki dunia kerja.
Secara
umum, perekonomian Aceh masih didominasi sektor primer, termasuk yang
akhir-akhir berkembang pesat, yaitu pertambangan. Sayangnya sektor
pertambangan sangat kontroversial karena selain tidak menciptakan banyak
tenaga kerja dan kurang keterkaitan input-output dengan kegiatan
ekonomi rakyat, kegiatan pertambangan juga sering merusak lingkungan.
Maka, sektor pertanian dalam arti luas yang termasuk perkebunan dan
perikanan merupakan potensi yang dapat dikembangkan hingga skala ekonomi
yang besar.
Beberapa komoditas penting di sektor pertanian dan
perkebunan belum berkembang baik, di antaranya yang sangat potensial
adalah beras, kedelai, kopi dan kakao. Produksi setiap tahun lebih besar
daripada konsumsi dan mempunyai potensi ekspor yang prospektif. Hanya
saja produksi komoditas ini masih dalam skala kecil dan belum kontinyu.
Pengelolaannya juga masih tradisional dan agroindustri sebagai kegiatan
di hilir belum berkembang baik. Bebeapa initiatif telah dilakukan oleh
beberapa lembaga donor bidang ekonomi, termasuk MDF pemberdayaan ekonomi
di sektor pertanian dalam upaya meningkatkan nilai tambah pertanian,
termasuk untuk komoditaas kakao dan kopi.
Beberapa upaya termasuk
merapikan mata rantai (supply chain) dari hulu ke hilir telah
dilakukan. Namun, masih diperlukan upaya berkelanjutan untuk mengangkat
beberapa komoditas unggulan tersebut sehingga menjadi sektor penghela
(leading sector) bagi perekonomian rakyat Aceh di luar Migas. Di sektor
perikanan, pengembangan industri pengolahan perikanan sangat
menjanjikan. Dengan posisi geografis Aceh di Selat Melaka yang
menguntungkan, Aceh dapat menjadi pusat pengolahan perikanan untuk
ekspor ke kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.
Begitu banyak
potensi alam Aceh di luar minyak dan gas bumi. Tapi karena Aceh selama
ini termanjakan oleh sumber pendapatan pemerintah dari minyak dan gas
bumi, maka belanja pemerintah menjadi pendorong penting bagi pertumbuhan
ekonomi. Maka, potensi besar tersebut tidak direncanakan dengan rencana
strategis yang konsisten. Di luar komoditas tanaman pangan, perkebunan
dan perikanan, sumber pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata juga
belum dikembangkan secara optimal. Demikian pula sumber-sumber energi
non-migas seperti pembangkit listrik tenaga geothermal belum sepenuhnya
dieksploitasi.
Bertumpu pada kaki sendiriSetelah
untuk sekian lama Aceh bertumpu pada dana rekonstruksi dan bantuan donor
asing, sekarang saatnya pemerintah bertumpu pada kaki sendiri. Kendati
dalam batas tertentu bantuan dari luar masih tetap diperlukan, namun
kejayaan ekonomi Aceh sangat ditentukan oleh strategi pembangunan
ekonomi oleh pemerintah Aceh sendiri. Strategi utama adalah menjadikan
pertanian dan perikanan menjadi sektor penghela pertumbuhan ekonomi yang
didukung dengan agroindustri. Modernisasi pertanian dengan skala besar
dan komersial perlu dilakukan sehingga ekonomi Aceh beralih dari sekedar
commodity-based economy menjadi pertanian yang terintegrasi dengan
industri. Dengan demikian perekonomian Aceh menjadi lebih berimbang
antarsektor.
Sumber daya alam mesti dikombinasikan dengan sumber
daya manusia yang handal. Oleh karena itu, ekonomi Aceh dalam jangka
panjang juga harus ditopang oleh kualitas manusia Aceh yang berilmu
pengetahuan dan trampil secara ekonomi. Perubahan orientasi pendidikan
dilakukan secara bertahap dan link and match pembangunan pendidikan
dengan pembangunan ekonomi. Daya saing ekonomi akan bergantung pada daya
saing sumber daya manusia. Oleh karena itu, investasi dalam bidang
pendidikan dan kesehatan (human capital) juga harus lebih fokus.
Ketergantungan
pertumbuhan ekonomi pada belanja pemerintah dikurangi dan investasi
swasta ditumbuhkan lebih cepat. Upaya-upaya mendorong pertumbuhan
investasi sektor swasta mencakup perbaikan di bidang regulasi dan
efisiensi pelayanan birokrasi, keamanan, dan keterbukaan masyarakat.
Melakukan perubahan memang seringkali, tapi kemajuan itu sendiri adalah
perubahan. Kita tunggu saja apa perubahan yang akan dilakukan dan
langkah strategis apa yang akan ditempuh. Mudah-mudahan tidak terjebak
lagi dalam yang biasa-biasa saja.
* Nazamuddin, Dosen dan Pengamat Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2012/06/13/ekonomi-aceh-mau-kemana